Kebudayaan Bugis-Makassar adalah kebudayaan dari suku bangsa Bugis-Makassar yang mendiami bagian terbesar dari jazirah selatan dari pulau Sulawesi.
Jazirah itu merupakan suatu propinsi, ialah propinsi Sulawesi Selatan.
Kecuali di propinsi Sulawesi Selatan, ada pula orang Bugis-Makassar yang tinggal di luar daerah itu.
Perantuan itu sudah berlangsung sejak abad ke-16.
Dalam zaman itu ada suatu rangkaian pereangan antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan yang disambung dengan perperangan-peperangan melawan Belanda dalam abad ke-19.
Demikian telah ada suatu kadaan tak aman sejak lebih dari tiga abad lamanya.
Keadaan ini menyebabkan perantauan tersebut, misalnya ke daerah-daerah pantai timur dan utara Sumatra, pantai barat Malaya, dan pantai barat dan selatan Kalimantan.
Bahasa, Tulisan dan Kesusasteraan
Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan orang Makassar bahasa Mangasara.
Kedua bahasa tersebut pernah dipelajari dan diteliti secara mendalam oleh seorang ahli bahsasa Belanda B F Matthes.
Dia mengambil sebagai sumbur, kesusasteraan tertulis yang sudah dimiliki oleh orang Bugis dan Maksaar itu sejak berabad-abad lamanya.
Matthes pernah mengumpulkan banyak sekali haskan kesuasteraan dalam bentuk lontar maupun dalam bentuk buku-buku kertas.
Lontar, atau lontara dalam bahasa Bugis, itu adalah buku-buku kuno yang dibuat dari daun palma kering.
Daun itu ditulisi dengan goresan alat tajam, dan kemudian dibubhi dengan bubuk hitam untuk memberi warna kepada goresan-goresan tadi.
Naskah-naskah yang dikumpukan oleh Matthes ada yang disimpan di perpustakaan dari yayasan Matthes di Makassar, sekarang dikenali sebagi Ujungpadang.
Ada banyak juga yang disimpan dalam perpustakaan Universtitas Leiden di Negeri Belanda dan di dalam beberapa perpustakaan lain di Eropa.
Matthes sendiri pernah menerbitkan beberapa bunga rampai yang memuat seleksi dari kesusasteraan Bugis-Maksassar.
Sebagai hasil dari penelitan bahasanya ia pernah menerbitkan sebuah kamus Bugis-Belanda dan sebuah kamus Makassar-Belanda yang tebal-tebal.
Huruf yang dipakai dalam naskah-naskah Bugis-Maksassar kuno adalah aksara lontara, sebuah sistem huruf yang asal dari huruf Sanskerta.
Katanya dalam abad ke-16, sistem aksara lontara itu disederhanakan oleh Syahbandar kerajaan Goa, Daeng Pamatte.
Dalam naskah-naskah sejak zaman itu, sistem Daeng Pamatte itulah yang dipakai.
Sejak permulaan abad ke-17, waktu agama Islam dan kesusasteraan Islam mulai mempergaruhi Sulawesi Selatan, maka kesuasteraan Bugis dan Makssar ditulis dalam huruf Arab yang disebut aksara serang.
Menurut dugaan, kata serang asal dari Seram.
Dulu katanya orang Muslimin Bugis pada mula-mulanya panyak hubungan dengan orang Seram yang lebih dahulu menerima agama Islam
Di Seram sendiri memang huruf Islam itulah yang biasanya dipakai sebagai tulisan dalam hubungan dengan penyebaran agama Islam.
Adapun naskah-naskah kuno yang ditulis di daun lontar sekarang sudah sukar untuk didapat.
Sekarang hanya tinggal naskah-naskah kuno dari orang Bugis dan Makassar yang ditulis di atas kertas dengan pena atua lidi ikuk dalam aksara lontara atau aksara serang.
Di antara buku terpenting dlaam kesusasteraan Bugis dan Makassar adalah buku Sure Baligo.
Buku ini adalah suatu himpunan amat besar dari mitologi yang bagi banyak orang Bugis dan Makassar masih mempunyai nilai yang keramat.
Kecuali itu ada juga lain-lain himpunan amanah-amanah dari nenek moyang, buku himpunan udang-udang, peraturan, dan keputusan-keputusan pemimpin-piemimpin adat dan sebagainya.
Kemudian ada juga himpunan-himpunan kesusasteraan yang mengandung bahan sejarah, seperti silsilah raja-raja (attoriolong) dan cerita-cerita pahlawan.
Cerita-cerita ini sungguhpun pernah ada tetapi dibubuhi sifat-sifat legendaris (pau-pau).
Akhirnya ada juga banyak buku yang mengandung dongeng-dongeng yakyat (seperti roman, cerita-cerita lucu cerita-cerita binatang yang berlaku seperti manusia dan sebagainya.)
Stratifikasi Sosial Lama
H J Friedericy pernah menulis sebuah disertasi di mana ia menggambarkan pelapisan masyarakat orang Bugis-Makassar dari zaman sebelum pemerintah kolonial Belanda menguasai langsung daerah Sulawesi Selatan.
Salah satu sumber yang dipakai untuk melakukan rekonstruksinya adalah buku kesusasteraan Bugis-Makassar ash, La Galigo.
Menurut Friedericy dulu ada tiga lapisan pokok, yaitu: ana karung, lapisan orang merdeka yang merupakan sebagian besar dari rakyat Sulawesi Selatan; dan ata, lapisan ornag budak, yaitu orang yang ditangkap dalam peperangan, orang yang tidak dapat membayar hutang, atau orang yang melanggar pantangan adat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar