Pengantar
Karya tulis ini merupakan hasil penelitian tahap pertama, yang merupakan laporan kemajuan ini dibiayai oleh Dana Hibah Penelitian Strategis Nasional Tahun 2009. Tahap penelitian yang sudah dilakukan adalah pengumpulan bahan dengan melakukan penelitian pustaka dan dua penelitian lapangan yang dilakukan oleh dua orang anggota peneliti di Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Maluku. Meskipun masih bersifat kerangka umum, sebagaimana terlihat dalam laporan ini, temuan data di lapangan dapat mengungkap atau setidaknya memetakan diaspora orang Buton yang menjadi pokok kajian dalam jaringan persebaran dan dinamika masyarakat dalam konteks integrasi bangsa di dua wilayah: Maluku Utara dan Maluku.
I. Pendahuluan
Tidak ada satupun negara-bangsa di dunia yang memiliki kompleksitas keragaman masyarakat dan kebudayaan seperti Indonesia. Republik Indonesia yang memiliki wilayah sekitar 5.000.000 kilometer persegi, didiami oleh penduduk yang berasal dari kurang lebih 500 sukubangsa dengan ratusan bahasa. Selain karakteristik tersebut, Indonesia juga merupakan satu-satunya negara kepulauan (archipelagic state) dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Akan tetapi perlu diketahui bahwa sebagian besar pantai negara Kanada berupa es yang beku. Sedangkan sebagai konsekuensi keberadaannya di katulistiwa sudah tentu pantai Indonesia dapat dilayari sepanjang musim.
Keanekaragaman suku bangsa ini memiliki potensi yang sangat besar bagi pembangunan masyarakat dan bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan negara yang diproklamasikan pada tahun 1945. Akan tetapi karakteristik itu juga merupakan potensi ancaman bagi integrasi bangsa. Potensi konflik yang dapat muncul dari perbedaan kepentingan apalagi dilandasi oleh faktor politik golongan akan mengancam integrasi bangsa dan sosial. Tanpa pengelolaan yang tepat, keragaman budaya akan menjadi potensi yang destruktif sebagai faktor meledaknya konflik etnis, seperti yang sering terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Untuk itulah diperlukan suatu penelitian yang cukup mendalam untuk memahami dan menemukan faktor integratif yang sudah berlangsung selama berabad-abad yang lalu.
Interaksi lintas budaya dalam perspektif sejarah sesungguhnya telah lama berlangsung. Salah satu faktor utama sarana penghubung dalam interaksi antar masyarakat di kepulauan ini adalah aktivitas pelayaran dan perdagangan di Nusantara. Dalam konteks ini tidak dapat dipungkiri bahwa di sebagian besar wilayah Indonesia, terutama di masyarakat dan kota-kota pantai atau pelabuhan telah terjadi proses komunikasi lintas budaya di antara warga suku bangsa yang hidup dari pelayaran dan perdagangan maritim di Indonesia sejak masa lalu.
Masyarakat Bugis, Makasar, Melayu, dan Jawa sudah dikenal di kalangan warga masyarakat Indonesia yang telah melakukan proses komunikasi lintas budaya di banyak wilayah di Indonesia. Kehadiran kampung dan permukiman Bugis, Makasar, Melayu, dan kampung Jawa yang terbentuk di banyak kota pelabuhan di Indonesia menunjukkan berlangsungnya interaksi secara damai dengan masyarakat lokal sehingga dapat menciptakan harmoni sosial, di mana mereka berada.
Selain sukubangsa yang disebut di atas, sesungguhnya terdapat orang Buton yang juga berperan dalam pembentukan masyarakat terutama yang berkarakter maritim di kepulauan Indonesia. Akan tetapi peranan orang Buton kurang sekali mendapat perhatian dibandingkan suku-suku yang sudah disebut di atas. Orang Buton sudah lama berinteraksi secara intensif dan integratif dengan masyarakat di pulau-pulau kecil dan besar terutama di wilayah Indonesia Timur. Untuk itulah pentingnya suatu penelitian yang menggambarkan diaspora orang Buton yang berpotensi mengintegrasikan masyarakat Indonesia terutama di wilayah Indonesia Timur. Dilihat dari sudut proses pembentukan keindonesiaan, para pedagang, pelaut, para migran dari daerah di kepulauan telah memainkan peranan secara kultural dan ekonomi, dalam proses integrasi awal Indonesia jauh sebelum negara Indonesia berdiri dengan Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, hingga terwujud keutuhan wilayah dengan kembalinya Irian Barat pada tahun 1963.
Kesetaraan Buton dengan Bugis dan Makassar dalam konteks suku bangsa yang memiliki karakteristik sebagai bangsa bahari, agaknya menarik dan penting untuk dipaparkan dalam perkembangan masyarakat yang bertransformasi dari masa lampau ke masa kini. Ketiga etnik tersebut memiliki persamaan karakteristik sebagai perantau dan komunitas yang berkehidupan dari sektor kelautan. Akan tetapi perbedaan di antara ketiganya tampak pada sejarah politik, ketika terwujud ke dalam tiga bentuk kerajaan: Gowa-Tallo, Bone dan Buton. Interaksi ketiganya berada dalam konteks persaingan politik. Gowa-Tallo setelah berhasil menguasai kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya, menjadi kerajaan paling kuat di Sulawesi selatan. Saingannya, Bone dan beberapa kerajaan kecil yang masih bebas semakin terdesak oleh ekspansi Gowa. Kebesaran Gowa didukung pelabuhan Sombaopu yang semakin ramai setelah Malaka jatuh ke tangan Malaka pada tahun 1511.
VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie), sebuah kongsi dagang Belanda yang didirikan pada tahun 1602 berambisi memperluas aktivitas perdagangan monopolistik rempah ke Maluku. Kendala terbesar VOC untuk bergerak ke Maluku terhadang oleh Gowa, yang telah lebih dahulu menguasai jalur perdagangan ini dan, yang ingin menjadikan perdagangan rempah berpusat di Makassar. Melalui jalur pelayaran menuju Maluku inilah, VOC berkepentingan dengan kerajaan Buton. Letak pusat kerajaan Buton, Baubau adalah kota pelabuhan persinggahan. Posisi Buton yang relatif lemah akibat tekanan Ternate dari bagian timur dan Gowa dari bagian barat, mendorongnya bersekutu dengan VOC. Perjanjian kerja sama pertama Buton dan VOC ditandatangani pada tahun 1613.
Ketegangan antara Gowa dan VOC berakibat perang, yang melibatkan Bone dan Buton. Dinamika sejarah yang agak lamban dalam abad ke-16 menjadi cepat berubah dengan ketegangan antara Gowa dan VOC yang berdampak pada konstelasi hubungan antar kerajaan di wilayah tersebut. Dalam konteks itu VOC menjadi faktor terwujudnya pola sekutu dan seteru antarkerajaan di Nusantara. Untuk menghadapi ekspansi Gowa, Bone memilih VOC sebagai sekutu. Dalam menghadapi Gowa yang kuat, VOC jelas berkepentingan dengan persekutuan ini. Berkat bantuan pasukan Raja Bone, Arung Palakka, VOC berhasil menghancurkan benteng Sombaopu. Dengan kekalahan itu, Gowa dipaksa menandatangani perjanjian di Bungaya pada tahun 1667.
Kesultanan Buton, yang dalam tradisi lokal diperkirakan berdiri dalam abad ke-15, mencakupi wilayah yang sekarang kurang lebih seluas Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagian besar wilayah kesultanan yang didirikan oleh pendatang dari Johor ini, merupakan pulau-pulau di seberang tenggara dan termasuk dua daerah di semenanjung Sulawesi. Dua pulau terbesar adalah Buton, pusat kesultanan dan Muna. Sedangkan pulau kecil adalah Kabaena, Kepulauan Tukang Besi dan lainnya. Berada di jalur pelayaran yang strategis ke Maluku, menjadikan Buton diperebutkan dan ditarik ke pihak-pihak kekuatan luar yang saling bersaing. Selain itu, potensi yang diincar oleh pihak luar adalah sumber tenaga kerja dalam aktivitas pelayaran dan ketrampilan pembuatan perahu serta tenaga budak yang diperdagangkan.
Dengan posisi dan potensi tersebut di atas, Buton masuk ke dalam konstelasi ketegangan dan perang yang merugikannya. Akan tetapi Buton selalu berusaha memanfaatkan kesempatan yang menguntungkan bagi dirinya. Dinamika dalam kurun masa abad-abad penuh gejolak menunjukkan mobilitas penduduk yang tinggi di wilayah itu. Diaspora orang Buton berlangsung di dalam konteks perubahan struktur politik, sosial, dan ekonomi khususnya di kepulauan bagian timur. Suatu hal yang menarik bahwa diaspora orang Buton memperlihatkan potensi yang merupakan unsur perekat dalam masyarakat majemuk di kepulauan Indonesia. Hal ini menarik dan penting dikaji, pertama, dalam hal ini mengenai topik kependudukan belum banyak dilakukan dalam perspektif sejarah; kedua, kajian sejarah mengenai migrasi atau diaspora penting artinya untuk mengungkap proses pembentukan sebuah bangsa, seperti Indonesia yang berciri keragaman etnik dan kebudayaan. Dengan demikian diaspora orang Buton merupakan tema yang sangat beralasan untuk dijadikan obyek penelitian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar