Pengantar
Masyarakat adat yang notabene adalah elemen terbesar dalam struktur negara bangsa (nation-state) Indonesia adalah pihak yang paling banyak dirugikan oleh kebijakan-kebijakan pembangunan terutama dalam tiga dekade terakhir ini. Kemampuan masyarakat adat untuk mengurus dan mempertahankan kelangsungan hidupnya telah dilumpuhkan, dan bahkan dihancurkan oleh kebijakan-kebijakan pembangunan yang tidak adil. Penindasan yang berlangsung secara sistematis ini bahkan berlangsung atas nama pembangunan yang dilegalkan dengan berbagai perangkat peraturan-perundangan.
Wujud nyata yang dapat dilihat dari penegasian hak-hak masyarakat adat ini salah satunya adalah dengan diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979, yaitu undang-undang yang mengatur pemerintahan di tingkat Desa. Dalam diskusi pada Sarasehan Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta tahun 1999 lalu, ditemukan bahwa UU ini memang menjadi akar permasalahan, diantaranya karena :[3] Pertama, Tidak diakuinya organisasi politik masyarakat adat. Dengan diberlakukannya peraturan perundangan ini maka desa didefinisikan hanya sebagai wilayah kehidupan yang berhak menyelenggarakan rumahtangga atau kehidupannya sendiri bukan sebagai masyarakat hukum yang berhak mengurus dan mengatur kehidupannya sendiri. Kedua, Hilangnya landasan hak ulayat dan hak atas sumber kehidupan. Misalnya hak atas hutan yang dimiliki desa menjadi milik negara, pungutan atas kekayaan alam diambil alih oleh pemerintah daerah tingkat II/I dan sebagai pengganti desa diberikan apa yang disebut dengan uang Pembangunan Desa (Bangdes) yang pada kenyataannya menimbulkan masalah-masalah baru. Sebenarnya banyak lagi masalah yang timbul dari pemberlakuan UU ini, seperti salah satunya dapat dilihat pada komentar salah seorang tokoh adat Dayak di Kabupaten Sanggau di bawah ini :[4]
“Dahulu ketika diberlakukan UU No.5 Tahun 1979, banyak kampung-kampung yang diregrouping menjadi desa. Hal ini untuk memenuhi syarat menjadi desa. Akhirnya banyak kampung yang letaknya berjauhan menjadi satu desa dan untuk ke desa pengembangan (pusat desa) warga masyarakat harus menempuh jarak berjam-jam hanya untuk mengurus surat ijin dari kepala desa”
Dari UU tersebut, jelas tergambarkan bahwa pluralitas yang merupakan suatu realitas sosial diabaikan. Penyeragaman nama, susunan, bentuk dan kedudukan dari pemerintahan desa menunjukkan tidak diakuinya kemajemukan masyarakat. Nilai-nilai lokal juga diabaikan, dan adat harus ‘kalah’ demi terselenggaranya stabilitas dan kewibawaan pemerintah.
Berdasarkan cerita tersebut, jelaslah bahwa sebenarnya pembangunan yang dijalankan oleh rezim orde baru selama tiga dekade terakhir telah menghancurkan modal-modal sosial dan budaya yang dimiliki masyarakat adat atau dengan kata lain akan menghancurkan masa depan negara itu sendiri.
Oleh karena itu, sebenarnya masa depan pengurusan daerah di awal abad 21 ini utamanya ditentukan oleh seberapa jauh Negara mampu menata ulang hubungannya dengan komunitas, dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai masyarakat adat. Peluang penataan ulang tersebut telah mulai dibuka melalui kebijakan otonomi daerah yang dibentuk melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Setidaknya, melalui UU tersebut tersedia dua arena pembaruan yang utama, yakni : pertama, arena pembaruan “desa” dimana penyeragaman susunan, bentuk dan nama Desa telah dihapuskan dan hendak didudukkan kembali apa yang disebut dengan otonomi asli. Melalui pemberlakuan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, “Desa” hendak dikembalikan ‘statusnya’ dari bagian dari pemerintahan yang terendah sebagai diatur dalam Undang-undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, kembali menjadi suatu institusi otonom yang memiliki apa yang diistilahkan dengan “hak asal-usul”[5]. Kedua, arena pembaruan hubungan pemerintahan daerah dengan pemerintahan pusat – dimana terletak apa yang disebut sebagai desentralisasi.
Berdasarkan peluang di atas, beberapa organisasi masyarakat sipil dan masyarakat adat kemudian berinisiatif untuk memasuki arena pembentukan kebijakan daerah, agar agenda demokratisasi dapat mengiringi desentralisasi termaksud, diantaranya adalah Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) yang terbentuk pada awal tahun 2002. Organisasi ini percaya bahwa penyerahan kewenangan dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah tanpa kendali langsung dari rakyat mengandung implikasi bahwa “segala penyakit yang tadinya ada di pemerintahan pusat beralih ke pemerintahan daerah” dan/atau ketidakmampuan pemerintahan daerah untuk menjalankan wewenang yang diserahkan tersebut. Karena pokok persoalannya terletak pada bagaimana perpolitikan pemerintahan daerah dapat melayani hajat hidup penduduk lokal, dan bukan justru, atas nama reformasi dan otonomi daerah, terjadi penguatan eksploitasi, penindasan dan penaklukan penduduk lokal oleh elit politik yang baru.
Inisiatif KARSA ini berawal dari inisiasi Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria (BP-KPA) pada akhir tahun 1999. Serangkaian kegiatan mulai dilaksanakan untuk memasuki arena pembentukan kebijakan daerah, khususnya yang berkaitan penyelesaian serangkaian konflik agraria dan dijalankannya pembaruan agraria di berbagai daerah yang diyakini menjadi salah satu prasyarat penting untuk menciptakan kondisi sosial-ekonomi baru untuk pemenuhan pemenuhan syarat-syarat sosial-ekologis yang menjamin keberlangsungan hidup komunitas. Memasuki arena pembentukan kebijakan daerah juga dijadikan suatu medium intervensi baru bagi kalangan Ornop dan pemimpin-pemimpin lokal yang secara formal tidak berada di dalam lingkaran kekuasaan pembentuk kebijakan agar agenda demokratisasi dapat mengiringi proses desentralisasi yang sedang berlangsung.
Dengan kata lain, melalui suatu intervensi yang sistematik di tengah-tengah arena pembentukan kebijakan daerah diharapkan dapat terjadi: perubahan watak dan kinerja dari lembaga perwakilan daerah dan orang-orang yang berada di dalamnya, peningkatan keberdayaan komunitas dalam mendorong aspirasinya, dan peningkatan posisi politik ornop dan aktivisnya di dalam proses mengawal pembentukan kebijakan daerah sejak tahap pembentukan hingga pelaksanaannya yang secara khusus berkaitan langsung dengan upaya-upaya mengatasi sejumlah krisis[6] yang tengah berlangsung dalam kehidupan sejumlah komunitas serta penciptaan kondisi-kondisi sosial-ekonomi-politik baru yang dapat menjamin terpenuhinya syarat-syarat keberlangsungan hidup komunitas-komunitas tersebut pada masa-masa selanjutnya. Sebagai pintu masuk, 3 (tiga) urutan topik substansi yang sama didiskusikan melalui metoda-metoda belajar partisipatif, meskipun masing-masing kabupaten mempunyai latar belakang daerah dan kebudayaan yang berbeda, yakni soal soal Agraria, soal Desa, dan soal Pemerintahan Daerah --ketiga-tiganya diikat dengan persoalan gawat yang dihadapi rakyatnya masing-masing, yakni: ancaman keselamatan dan kesejahteraan rakyat, merosotnya pelayanan alam, serta merosotnya produktivitas rakyat-- yang keseluruhan acara bermuara pada agenda demokratisasi pembuatan kebijakan daerah.
Ternyata di setiap wilayah dimana pelatihan diselenggarakan, senantiasa ada semangat untuk mengikuti jiwa pembuat UU 22/1999 yang ingin merehabilitasi kedudukan dan peranan apa yang disebut sebagai “Desa”. Idenya ingin mendudukan kembali Desa atau yang disebut dengan nama lain di tempat lain terpisah dari jenjang pemerintahan. Diakui dalam sistem pemerintahan nasional sebagai kesatuan masyarakat yang dihormati mempunyai hak asal-usul dan istiadat setempat. Jadi, secara langsung, dirasakan adanya keinginan memulihkan demokrasi di tingkat yang paling terendah, di mana unsur-unsur pokok demokrasi ada di Desa, seperti Badan Perwakilan Desa, yang berfungsi sebagai parlemen dan kehendak mengakui dan menghormati hak asal-usul desa tersebut. Selanjutnya, diagendakan untuk membentuk Perda tentang Desa sebagai jalan menghadapi ‘warisan’ sejarah itu.
Namun karena berbagai keterbatasan yang dimiliki, maka kegiatan dalam konteks pembaruan desa dan agraria ini hanya dilanjutkan pada tiga wilayah yaitu Sanggau di Kalimantan Barat, Garut di Jawa Barat dan Toraja di Sulawesi Selatan. Alasan dipilihnya Kabupaten Sanggau, Garut, dan Toraja, adalah karena terpenuhinya syarat-syarat keberlanjutan intervensi perubahan kebijakan publik yang akan dijalankan oleh ornop-ornop di tiga kabupaten itu. Di tiga kabupaten itu, diketahui bahwa ketegangan-ketegangan yang terbentuk akibat pemberlakuan UU No. 22 tahun 1999[7] itu bukan sekedar merupakan kenyataan objektif yang dialami oleh pembentuk kebijakan, namun juga telah menjadi kesadaran subjektif dari pimpinan DPRD di tiga Kabupaten tersebut. Ketegangan tersebut merupakan pintu yang terbuka lebar bagi ornop untuk melakukan lebih dari sekedar amplifikasi suara penduduk lokal yang menjadi korban dalam krisis di atas, yakni ikut campur/intervensi dalam arena pertarungan pembuatan kebijakan. Di ketiga kabupaten, undangan untuk bekerjasama secara resmi menyelenggarakan kegiatan pelatihan untuk seluruh anggota DPRD di tiap Kabupaten itu, dengan mudah disetujui. Pimpinan DPRD tiga kabupaten itu memandang bahwa anggota-anggota DPRD memerlukan suatu upaya peningkatan pemahaman mengenai seluk-beluk kebijakan otonomi daerah yang baru diluncurkan oleh Pemerintahan Nasional itu dan implikasinya untuk menjalankan pemerintahan di Kabupaten masing-masing, sehubungan dengan kenyataan mayoritas anggota DPRD adalah pendatang baru, bahkan dari partai-partai baru, sebagai hasil dari pemilu bulan Agustus tahun 1999.
Saat ini, keseluruhan proses belajar di atas dilanjutkan dengan mengkonsolidasikan para fasilitator pembaruan desa dan agraria di tiga kabupaten dalam suatu lingkaran belajar yang dinamakan KARSA. Seiring dengan perjalanan, tidak terasa sudah hampir dua tahun program pembaruan desa dan agraria dijalankan di ketiga wilayah tersebut. Gerakan pembaruan ini diiringi dengan dinamika lokal yang terjadi pada setiap wilayah ini sangat menarik untuk dijadikan bahan belajar untuk menentukan langkah ke depan. Karena diharapkan dengan proses pembelajaran yang terus bergulir ini, di masa yang akan datang dapat dicapai keberhasilan prakarsa lokal didukung oleh organisasi rakyat, organisasi non-pemerintah dan organisasi masyarakat sipil lainnya yang memberikan landasan yang kokoh bagi pemenuhan syarat-syarat sosial-ekologis pengurusan daerah.
Dinamika di Sanggau : Sistem Pemerintahan Kampung, Perjuangan Masyarakat Adat yang berbuah pada Tuntutan Adat[8]
Konteks umum Sanggau memang diisi oleh berbagai krisis sosial-ekologis sebagai konsekuensi dari perluasan praktek ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam[9] yang difasilitasi oleh pemerintah pusat dan daerah dan dijalankan oleh badan usaha skala raksasa. Selain itu, pengalaman pahit para pemimpin adat Dayak adalah marginalisasi dan kooptasi adat-budaya baik sebagai ekspresi dari modernisasi maupun otoritarianisme. Pengalaman para pemimpin lokal Dayak yang difasilitasi oleh ornop ini adalah resistensi terhadap operasi modal dan negara di satu pihak, dan di pihak lain berupa revitalisasi budaya seiring dengan aktivitas ornop mendokumentasikan, memetakan dan mempromosikan kearifan lokal dan sistem pengelolaan sumber daya alam yang telah dipraktekkan secara lokal. Menyambut momentum otonomi daerah, telah dilakukan konsultasi mengenai implikasi dari UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menyediakan arena perjuangan baru bagi upaya resistensi dan revitalisasi itu.
Dua bulan sebelum acara latihan DPRD itu, ornop Pancur Kasih telah menyelenggarakan suatu lokakarya 3 hari yang mayoritas pesertanya adalah tokoh-tokoh lokal Dayak mendiskusikan kebijakan baru otonomi daerah dan implikasinya pada sistem pemerintahan desa yang diterapkan selama ini. Dari proses diskusi selama 3 hari Masyarakat Adat kabupaten Sanggau menyatakan ingin kembali ke Sistem Pemerintahan Kampung,[10] karena sejak tahun pertama UU No 5 tahun 1979 diterapkan dimana dilakukan regrouping kampung, proses demokrasi yang biasanya berjalan menjadi macet. Seorang tokoh lokal (L.C. Sareb, sebagaimana dikutip Rona, 2001) mengungkap bahwa
Ibarat cerita kera yang hendak menolong ikan ketika musim kemarau, dengan mengendong sang ikan ke darat. Niat baik dan mulia sang kera justru menjadi malapetaka bagi sang ikan. Wal hasilnya tentu saja sang ikan mati, karena habitat ikan memang di sungai/air bukan didarat seperti halnya sang kera. Itu adalah ilustrasi keberadaan UU No 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat, justru menghancurkan keberadaan Masyarakat Adat khususnya di Kabupaten Sanggau. Karena sejak awal Masyarakat Adat hidup dan berkembang dalam Sistem Pemerintahan Kampung.
Gagasan kembali ke Sistem Pemerintahan Kampung (SPK) ini semakin besar peluangnya setelah aktivis ornop Pancur Kasih melihat besarnya dukungan dari kalangan pimpinan DPRD dan konfigurasi respons dari para anggota DPRD sebagaimana terungkap dalam acara latihan itu. Lebih lanjut, motivasi untuk mengusulkan SPK ini semakin kuat dan terarah dengan telah hadirnya gagasan tandingan untuk mengukuhkan kembali Pemerintahan Desa/Kelurahan – sebagaimana diusulkan oleh Pemda Kabupaten Sanggau yang telah tertuang dalam bentuk usulan 13 paket Raperda. Dengan adanya 13 paket Raperda versi Pemda itu, sebagaimana dilaporkan Mona (2001) :
“kami mulai melakukan pertemuan dari kampung ke kampung dengan menggunakan 13 paket Raperda Sistem Pemerintahan Desa inisiatif eksekutif. Hasil pertemuan dari kampung ke kampung, ternyata Masyarakat Adat menolak 13 paket Raperda Desa tersebut. Bahkan mereka menyatakan ingin kembali ke sistem pemerintahan kampung. Sehingga hasil konsultasi tersebut adalah : (i) Masyarakat Adat menolak sistem pemerintahan desa; (ii) Masyarakat Adat menolak 13 paket Raperda Desa; dan (iii) Masyarakat Adat akan memperjuangkan kembali ke sistem pemerintahan kampung, dengan membuat pokok-pokok pikiran mengenai sistem pemerintahan kampung. Pokok-pokok pikiran tentang sistem pemerintahan kampung ini kemudian dijadikan draf awal Raperda Sistem Pemerintahan Kampung prakarsa Masyarakat Adat. Kemudian draft Raperda SPK kembali dikonsultasikan dari kampung ke kampung melalui pertemuan dan diskusi kampung. Hasil konsultasi dari kampung ke kampung dijadikan bahan revisi bagi draf Raperda SPK, begitu kerja seperti ini kami lakukan secara terus menerus selama 14 bulan.”
Selanjutnya, terdapat beberapa rangkaian langkah ornop yang ikut menentukan konstelasi berikutnya, yakni: Fasilitasi Pembentukan Kelompok Kerja Masyarakat Adat (KKMA) Sanggau[11], Fasilitasi Penyampaian Raperda SPK ke DPRD dan Pemerintahan Daerah, serta Monitoring dan Intervensi terhadap Pansus DPRD.
Pembentukan Pansus DPRD kemudian menandai fase terpenting dari pertarungan ini. Pansus memulai kerjanya dengan studi banding ke Kabupaten Solok (Sumatera Barat) yang telah menetapkan dan melaksanakan Perda mengenai Nagari, sebagai pengganti Pemerintahan Desa. Setelah studi banding, di DPRD melalui tim Pansus mengeluarkan Usulan Ranperda Sistem Pemerintahan Benua sebagai penggati Sistem Pemerintahan Desa (UU No 5 Tahun 1979) – yang sepenuhnya merupakan replikasi dari Perda Kabupaten Solok tentang Nagari.[12]
Kontes tiga usulan Raperda itu merupakan pengalaman pertama kalinya bagi pembentukan kebijakan publik di Sanggau, dan hal ini membuat para anggota pansus DPRD gamang mengelolanya. Lebih-lebih dengan gencarnya aktivis ornop bersama KKMA menggunakan berbagai media seperti diskusi/lokakarya/siaran radio dan sebagainya untuk mengkritik usulan Raperda versi Pansus maupun versi Pemda. Akhirnya, pada tanggal 17 Januari 2002, Raperda Pemerintahan Kampung resmi menjadi Raperda inisiatif DPRD Kab. Sanggau.
Di samping itu, dinamika lain yang nyata terlihat di tahun 2002 ini adalah terbentuknya Distrik Office (DO) Sanggau yang difasilitasi oleh beberapa lembaga di bawah Yayasan Pancur Kasih[13]. Dan semenjak saat itu, kegiatan di Kabupaten Sanggau yang terfokus pada proses pengawalan Raperda Pemerintahan Kampung difasilitasi oleh DO Sanggau.
Berbagai upaya yang difasilitasi DO Sanggau kemudian dilakukan dalam rangka pengawalan Raperda Pemerintahan Kampung ini, seperti konsultasi, lokakarya, hearing dengan DPRD dan Pemerintah Kabupaten, talk show di radio setempat, serta lobby, yang melibatkan berbagai kalangan masyarakat di Kabupaten Sanggau. Keseluruhan upaya ini dilakukan karena adanya kesan bahwa Pemerintah Daerah dan DPRD mengabaikan aspirasi masyarakat untuk kembali ke pemerintahan kampung. Selama beberapa waktu upaya menata relasi melalui pembaruan kampung ini diabaikan dengan alasan banyak urusan lain yang lebih prioritas, seperti pembahasan RAPBD, diklat, dll. Bahkan tim Pansus DPRD yang seharusnya bertugas membahas Raperda ini tidak datang dalam kegiatan Pembahasan Jawaban DPRD atas Pandangan Umum Eksekutif. Selain itu, upaya masyarakat ini ditanggapi dengan ‘sebelah mata’ dengan alasan bahwa urusan kebijakan adalah urusan pemerintah, bukan urusan masyarakat
Ketidakpuasan masyarakat kemudian dituangkan dalam berbagai bentuk, mulai dari mengirimkan surat, terus menerus melakukan lobby, konsolidasi massa[14], tekanan bahkan ancaman jika urusan ini tidak dijadikan prioritas, maka mulai tanggal 1 Januari 2003 masyarakat akan menggunakan Perda versi masyarakat.
Upaya ini akhirnya membuahkan hasil, Raperda Pemerintahan Kampung disahkan menjadi Perda pada tanggal 30 Desember 2002. Namun, ternyata hasilnya menimbulkan ketidakpuasan dari masyarakat baik terhadap proses maupun materi. Dari segi proses, ada ketidaktransparansian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sanggau. Dalam pengesahan yang dilakukan tanpa dihadiri Bupati Sanggau, karena keterbatasan daya tampung ruang sidang DPRD Sanggau, maka dari 500 orang masyarakat yang hadir hanya 10 orang wakil masyarakat adat yang diperbolehkan mengikuti proses sidang. Namun, sampai dengan bubarnya massa, baik pihak Sekretariat DPRD maupun Pemerintah Kabupaten, sama-sama mengaku tidak tahu persis bunyi pasal dari Perda No 4 tentang Pemerintahan Kampung yang telah disahkan. Hal ini dimungkinkan oleh mereka dengan alasan menunggu tandatangan dari Bupati Sanggau yang pada saat itu berhalangan hadir, sehingga Perda Pemerintahan Kampung yang disahkan tidak dapat dipublikasikan secara langsung.
Setelah hampir satu bulan kemudian, tepatnya hari Senin, 27 Januari 2003, melalui desakan yang dilakukan terus menerus, KKMA mendapatkan Perda Kabupaten Sanggau No.4 tentang Pemerintahan Kampung secara utuh. Ternyata Perda tersebut sangat jauh berbeda dari Raperda yang mencerminkan aspirasi masyarakat adat. Dari segi substansi, banyak bagian dari Perda tersebut yang tidak berbeda dengan Sistem Pemerintahan Desa, seperti : (i) Persyaratan Pendirian Kampung dengan minimal 250 KK. Padahal, semestinya dengan 50 KK sudah bisa mendirikan kampung. Sehingga dengan persyaratan ini kemungkinan besar sub-suku yang jumlahnya kecil akan dapat hilang. Karena mereka terpaksa bergabung dengan sub-suku lain sehingga identitas mereka semakin lama akan menghilang, (ii) Adanya Badan Musyawarah Kampung (BMK) yang dirasakan tidak ada bedanya dengan LKMD pada masa pemerintahan desa. Ini tidak sesuai dengan usulan masyarakat yang menginginkan konsep langsung tanpa perwakilan, (iii) Adanya intervensi dalam hal pengangkatan kepala kampung. Jadi kepala kampung bukan murni dari masyarakat, (iii) Pengaturan dan istilah wilayah bagian kampung yang tidak cocok dengan konsep masyarakat Sanggau
Hal tersebut menimbulkan kekecewaan yang mendalam bagi masyarakat di Kabupaten Sanggau. Tantangan yang ditemui amatlah berat, terutama karena arogansi DPRD dan Pemerintahan Daerah yang hampir tidak memberikan celah dan peluang pada Masyarakat Adat untuk terlibat dalam proses pembahasan Raperda. Eksekutif dan Legislatif ini juga tidak serius menangani isu terkait, misalnya dalam Renstra Poldas dan Properda yang meliputi Perda No 1, 2 dan 3 pada bulan Maret tahun 2003, masih digunakan istilah ‘Desa’ untuk ‘Kampung’. Dan yang menarik, walaupun sudah ‘diketok palu’ tetapi Bupati Sanggau masih saja melantik kepala desa selama 5 bulan terakhir ini.
Berdasarkan hal tersebut, maka KKMA yang diwakili oleh Bapak C. Djaelani selaku ketua, mengajukan tuntutan hukum adat kepada DPRD dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sanggau senilai 24 tail dan 600 tempayan. Tuntutan hukum adat yang sesuai tata cara adat disampaikan kepada 10 temenggung (pemuka adat) dari berbagai suku yang ada di Kabupaten Sanggau ini disampaikan karena kedua lembaga tersebut dinilai berbohong dan melecehkan masyarakat adat berkaitan dengan pembuatan Perda No 4 tahun 2002 tentang Sistem Pemerintahan Kampung yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Namun sekali lagi Pemerintah Daerah dan DPRD Sanggau tidak menanggapinya secara serius.[15]
Apapun muara dari kompetisi ini, para pemimpin lokal pada gilirannya ditantang untuk menata-ulang kepemimpinan di tingkat komunitas sehubungan dengan kondisi sosial-ekologis yang rusak akibat gerak pembangunan yang sentralistik-otoritarian dan berorientasi ekstraksi-eksploitasi sumber daya alam di masa lampau.
Dinamika di Garut : Pembaruan Agraria sebagai Alas Otonomi Desa[16]
Konteks umum di Garut diisi oleh resistensi petani yang masif terhadap usaha-usaha berbasis penguasaan dan pemanfaatan tanah skala besar, berupa perkebunan dan kehutanan. Upaya-upaya memperoleh hak atas tanah yang digerakkan oleh kebutuhannya akan lahan garapan petani nampaknya masih akan terus dihadapi dengan kekerasan yang tentunya hal ini mengakibatkan konflik agraria yang akut. Mengisi masa reformasi hingga sebelum penyelenggaraan pelatihan untuk DPRD, Ornop Yayasan Pengembangan Masyarakat (YAPEMAS) dan sayap organisasi massa petani-nya, yakni Serikat Petani Pasundan (SPP) rajin melakukan aksi-aksi demonstrasi ke kantor-kantor Pemerintahan Daerah terkait dengan tindakan-tindakan kekerasan yang diderita oleh petani-petani anggotanya. Konflik ini nampaknya masih akan berkepanjangan. Bersama-sama dengan BP-KPA, mereka mengusulkan penyelesaian terhadap tuntutan petani atas tanah dan konflik agraria yang menyertainya melalui suatu program landreform yang komprehensif.
Pelatihan yang diselenggarakan mengagendakan penyelesaian masalah konflik agraria ini yang timbul akibat dari kebijakan dan praktek pemerintah pusat yang pro-usaha skala besar dan anti terhadap kebutuhan petani akan lahan garapan. Warisan masalah itu semakin lama semakin membuat DPRD kesal, karena mereka yang menanggung “sampah” akibatnya, tanpa mereka memperoleh secara langsung manfaat dari usaha-usaha skala besar tersebut. Agenda berikutnya adalah penyelesaian masalah pemerintah desa yang berwatak otoritarian dan mengakar ke birokrasi dan tidak berwatak demokratis yang menghargai otonomi asli dari penduduk lokal. Dua bulan setelah acara latihan, dua agenda ini diurus oleh DPRD dengan membentuk dua macam Panitia Khusus DPRD yang berbeda, yakni Pansus Penyelesaian Sengketa Tanah dan Pansus Pembuatan Perda Desa.
Pansus Pembuatan Perda Desa bekerja terlebih dahulu dengan menerima paket usulan 13 Raperda Desa[17] yang dajukan oleh pemerintah Kabupaten. Lalu, BP-KPA dan Yapemas berkerja sama dengan Pansus menyelenggarakan lokakarya untuk merevisi dan menyempurnakan usulan itu. Dua pokok perubahan yang baru dan dimuat dalam Perda itu adalah (i) kedudukan Desa yang otonom dan tidak berada di bawah hirarki Pemerintah Daerah (termasuk Camat); dan (ii) pembentukan kelembagaan parlemen desa, diistilahkan dengan nama resmi Badan Perwakilan Desa (BPD), yang anggotanya dipilih secara langsung. Dua pokok perubahan ini sangat cocok dengan agenda Yapemas-SPP untuk mengubah watak pemerintah desanya agar menyumbang bagi perbaikan syarat-syarat sosial-ekologis setempat, dimana segera setelah ada penetapan pemberlakuan perda itu, sejumlah anggota SPP yang merupakan tokoh lokal, mendaftarkan diri sebagai kandidat anggota BPD (Badan Perwakilan Desa), untuk dipilih secara langsung oleh penduduk desa.
Namun, keberhasilan anggota-anggota SPP menguasai BPD di sekitar 30-an desa dari 300-an desa seluruh Kabupaten Garut, tidak dengan sendirinya mampu mengubah watak masing-masing pemerintah desa, sehubungan dengan konservatisme dari pemerintah desa, dimana Kepala Desanya telah berkuasa dalam periode sebelum reformasi. Pada kenyataannya, ketegangan antara eksponen BPD dengan pemerintahan desa yang didukung oleh birokrasi administrasi Kecamatan justru membuat stagnasi yang berkepanjangan. Diperkirakan, ketegangan akan memuncak pada masa pertanggungjawaban dan pemilihan kepala desa yang baru, dan pemerintahan desa baru akan mampu secara efektif mengembangkan watak barunya menghadapi permasalahan sosial-ekologis, setelah terciptanya resolusi atas ketegangan tersebut.
Sementara itu, Pansus Penyelesaian Sengketa Tanah menemukan kerangka kerjanya melalui Lokakarya tentang Penyelesaian Sengketa Tanah yang diselenggarakan pada bulan November tahun 2000. Kerangka kerja itu dimulai dengan identifikasi-investigasi kasus-kasus sengketa tanah yang terjadi di seluruh Kabupaten Garut dan dilanjutkan dengan analisis terhadap sebab-sebab sengketa tersebut dan faktor-faktor pengawet dari sengketa itu, serta diakhiri dengan suatu tindak lanjut untuk menghadapi penyebab dan faktor pengawet tersebut. Terdapat tiga golongan utama kasus, yakni (i) Sengketa antara penduduk desa dengan Perum Perhutani; (ii) Sengketa antara penduduk desa dengan perusahaan-perkebunan baik milik pemerintah maupun milik swasta; dan (iii) Sengketa antara penduduk desa dengan Kantor Badan Pertanahan Nasional, sehubungan dengan penyalahgunaan wewenang memanipulasi kepemilikan tanah.
Kesadaran utama dari para anggota Pansus ini sangat kuat bahwa jika konflik-konflik itu tidak segera diselesaikan, maka hal ini akan berkembang ke bentuk-bentuk konflik yang semakin mencemaskan hingga dapat memerosotkan legitimasi pemerintahan daerah di mata penduduk korban-korban sengketa. Namun, di pihak lain, mereka merasa kurang berdaya dan mengkespresikan keterbatasan bahwa meskipun saat ini adalah jaman Otonomi Daerah, pada soal sengketa tanah ini, kewenangan penyelesaiannya ada di Pemerintah Pusat, baik pada Departemen Kehutanan maupun Badan Pertanahan Nasional. Memang, secara legal pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan atas perizinan dan perjanjian kerjasama yang telah diberikan oleh pemerintah pusat sampai berakhirnya perizinan dan perjanjian kerjasama tersebut.[18] Lebih-lebih dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden nomor 10 tahun 2001[19], yang dipersepsi mereka sebagai penarikan kembali kewenangan di bidang pertanahan yang telah diberikan sesuai dengan pasal 7 UU nomor 22 tahun1999.
Dengan kesadaran atas keterbatasan kewenangan ini pula, YAPEMAS-SPP mulai ikut mendorong terjadikan kebijakan penyelesaian sengketa di Badan Pertanahan Nasional melalui aksi-aksi demonstrasi langsung, lobbying dan rapat-rapat bersama pejabat lapisan atas dari BPN dan Departemen Kehutanan mengenai sengketa-sengketa tanah yang terjadi di Garut. Lebih dari sekedar usaha itu, YAPEMAS-SPP juga terlibat aktif melalui dukungan aksi-aksi massa[20], dalam mempromosikan lahirnya Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang adil dan berkelanjutan[21], baik ketika Panitia Ad hoc II - Badan Pekerja MPR merumuskan isi ketetapan itu, maupun ketika ketetapan itu dibahas pada Sidang Tahunan MPR RI tanggal 1 s/d 9 november tahun 2001.
Selain itu, sebagai salah satu upaya memasuki arena perubahan kebijakan daerah, agar agenda demokratisasi dapat mengiringi desentralisasi termaksud, YAPEMAS menyelenggarakan Lokakarya Penguatan Organisasi rakyat dan Masyarakat Desa dalam Implementasi Otonomi Daerah dalam Konteks Pembaharuan Agraria.[22] Dari lokakarya itu akhirnya YAPEMAS bisa memasukan program pengembangan tata pemerintah desa yang di alokasikan dari APBD sekitar 30 juta, yang sebelumnya tidak pernah ada. Dari sini kepercayaan masing-masing desa untuk memperoleh keterampilan melakukan advokasi budgeting mulai tumbuh. Dari perubahan itu, YAPEMAS semakin intens dijadikan media fasilitator untuk mengembangkan dan meningkatkan keterampilan advokasi bagi pemerintahan desa oleh pemerintahan desa yang tersebar di Kabupaten Garut. Dari putaran diskusi dan pertemuan di setiap desa akhirnya berkembang pentingnya membentuk forum-forum studi BPD di beberapa kecamatan.[23] Bahkan dengan forum studi BPD ini akhirnya ketegangan-ketegangan antara BPD dan Kepala Desa, rakyat dapat diminimalisasi. Bahkan kepercayaan masyarakat yang sempat hilang dengan institusi BPD ini, saat ini mulai kembali.
Selain itu, YAPEMAS juga diminta oleh pemerintah untuk memfasilitasi 10 desa percontohan di Kabupaten Garut sebagai laboratorium pembelajaran dari implementasi otonomi daerah dan melakukan pengelolaan hutan yang berbasis ekonomi dan ekologis sebagai sarana laboratorium pemerintah untuk dijadikan media pembelajaran. Untuk itu, YAPEMAS mengadakan lokakarya dengan beragam peserta seperti BKSDA, PERHUTANI, Legislatif, Organisasi Rakyat, Akademisi, Pers, pemerintahan desa, dan warga desa. Di samping itu, YAPEMAS juga mendirikan Tsanawiyah Terpadu Berbasis Ekologis (setingkat SLTP), sebagai langkah awal menyebarkan model pengelolaan sumber daya agraria berbasis ekologis di wilayah pinggir dan dalam hutan. Tujuannya untuk mengenalkan persoalan layanan alam, ekosistem, tata produksi, tataguna dan tata kuasa pada masyarakat dari sedini mungkin. Dan para peserta didik ini adalah utusan dari masing-masing wilayah yang dimana wilayah hidupnya bealas wilayah pinggir dan dalam hutan. Sehingga ketika proses pendidikan ini selesai, regenerasi mendatang memiliki beberapa keterampilan berkenaan dengan implementasi pembaharuan agraria dan desa.
Untuk menyiapkan pra-kondisi penyelesaian sengketa agraria melalui agenda landreform, YAPEMAS mengadakan pertemuan–pertemuan di masing-masing wilayah sengketa melakukan inventarisasi penguasaan, pemilikan dan penggunaan sumber daya agraria, membuka akses informasi bagi masyarakat tentang pembaharuan agraria, menyusun dan merekomendasikan strategi pelaksanaan pembaharuan agraria, menyiapkan keterampilan dan pengetahuan bagi organisasi rakyat berkenaan dengan pengetahuan pembaharuan agraria, melakukan negosiasi, lobi, kampanye dan pertemuan dengan para pihak terkait di pemerintahan kabupaten, mendorong penyiapan anggaran dari APBD untuk penyelesaian sengketa agraria baik di pemerintahan kabupaten maupun propinsi.
Sementara dalam beberapa waktu berselang, diselenggarakan Lokakarya yang menghadirkan Deputi BPN Pusat, berikut dengan pihak-pihak terkait di tiga Kabupaten (Garut, Tasik dan Ciamis). Rekomendasi dari lokakarya itu, BPN meminta YAPEMAS dan SPP menjadi Laboratorium implementasi Pembaruan Agraria tidak hanya di tiga kabupaten (Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis) tapi di Indonesia. Untuk itu, YAPEMAS melakukan serangkaian kegiatan yang diperlukan dalam agenda advokasi pembaruan agraria, dari mulai pertemuan kampung sampai melakukan advokasi di tingkat pusat selain terus membangun jaringan dengan KPA, WALHI, Bina Desa, HUMA, Pokja PSDA, KARSA dan lembaga lain yang konsisten teradap isu pembaruan agraria dan desa .
Dinamika di Toraja : Lembang, Baju Baru Desa ?[24]
Di Toraja, yang terkenal dengan masyarakatnya yang memegang teguh adat istiadat sebagai warisan nenek moyang, sejak diberlakukannya UU No 5 tahun 1979, eksistensi komunitas adat dengan segala hukum dan aturannya mulai memudar. Fungsi ketua lembang (pemerintahan wilayah adat) pun diganti dengan posisi kepala desa yang bertanggung jawab kepada instansi pemerintah setingkat di atasnya yaitu kecamatan, bukan lagi kepada masyarakatnya. Pemerintahan Orde Baru berasumsi bahwa Lembang yang merupakan desa yang diatur berdasarkan hukum adat akan sulit menjalankan pembangunan, karena keberagamannya.[25]
Kemudian, ruang pengakuan hak asal-usul yang dibuka oleh UU 22/1999, disambut oleh elite tokoh adat dengan reaksi yang relatif lebih solid. Kemerosotan yang drastis terhadap ekonomi pariwisata, sebagai ekspresi dari krisis ekonomi yang lebih luas, membuka ruang besar bagi pengembangan sikap anti-komoditisasi dan anti-komersialisasi budaya. Tokoh-tokoh adat yang tadinya dimarjinalisasi dari kedudukannya balik menjadi motor penggerak revitalisasi adat yang pada tingkat ide maupun praktis tidak dapat dibendung lagi oleh lembaga formal pemerintahan sekalipun. Lebih-lebih, setelah seorang tokoh adat perempuan dari Toraja ini menjadi pimpinan Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Adat menjadi pemberi legitimasi utama bersama-sama dengan apa yang secara modern disebut akuntabilitas publik, yang menandingi restu dari pejabat “atasannya” baik dalam kontes pemilihan anggota DPRD, pemilihan Bupati dan pejabat pemerintah di bawahnya maupun terhadap substansi kebijakan yang dikeluarkan.
Hal ini lah yang sesungguhnya telah memudahkan ornop untuk memenangkan pertarungan dalam pembuatan peraturan daerah yang mengatur mengenai Desa atau yang disebut dengan nama lain. Jadi, latihan terhadap anggota DPRD, yang juga diikuti oleh pejabat-pejabat Pemda, telah menjadi semacam medium bagi persemaian ide-ide “kembali ke Lembang” sebagai unit pemerintahan adat. Proses pembuatan perda mengenai Lembang ini melibatkan seluruh unsur seperti tokoh adat, masyarakat, ornop, dll. Akhirnya, tanpa mengalami kesulitan dan kerumitan yang berarti seperti di wilayah lain, dua bulan setelah latihan itu, Perda No 2 Tahun 2001 tentang Lembang ditetapkan berlakunya.
Implikasi pokok dari agenda “Kembali ke Lembang” adalah reorganisasi wilayah dan pemerintahan di unit terkecilnya. Reorganisasi ini adalah urusan yang besar, karena berbeda dari Sanggau dimana wilayah kampung yang dituntut lebih kecil dari desa semasa UU No 5 tahun 1979, di Toraja wilayah Lembang sebelum UU No 5 tahun 1979 jauh lebih besar dari desa (dapat saja 1 lembang terdiri dari 7 s/d 10 desa) dan struktur kelembagaan di dalam Lembang itu sendiri. Dari DPRD sendiri, persetujuan baru sampai pada tingkat perubahan nama desa menjadi lembang. Sementara, mereka ingin agar hal mengenai penyatuan desa menjadi beberapa lembang dikembalikan kepada masing-masing desa untuk memutuskan.Tema-tema yang menjadi topik belajar baru bagi pemimpin adat sekarang bukan hanya soal kelayakan organisasi dari struktur kelembagaan adat yang lama dengan keharusan adanya lembaga parlemen di tingkat lembang, tetapi berkaitan juga dengan resistensi dari dua golongan: (i) sebagian Kepala Desa dan aparatnya yang bekerjasama dengan Camat dan aparatnya sehubungan dengan ancaman hilangnya keistemewaan posisi, kewenangan dan uang yang mereka peroleh. Nyata jelas bahwa aparat pemerintah kecamatan, kecuali beberapa saja, mendistorsi gagasan “Kembali ke Lembang”, dengan cara mensosialisasikan Perda tentang Lembang dengan strategi pokok agar setiap desa menjadi Lembang sehingga tidak ada reorganisasi wilayah sama sekali.; dan (ii) sebagian Kepala Desa dan aparatnya yang memperoleh dukungan dari penduduk sehubungan dengan ancaman refeodalisasi pemerintahan Lembang. Pada sebagian wilayah dan penduduk desa, kehadiran Desa menurut UU nomor 5 tahun 1979 adalah suatu pembebasan dari ikatan-ikatan feodal.
Berdasarkan perkembangan yang terjadi, persoalan kemudian muncul karena adanya pemahaman Pemerintah, DPRD, Masyarakat serta ornop tentang isi Perda berbeda – beda. Ada anggapan dari pihak masyarakat bahwa Lembang adalah desa diganti dengan nama baru (misalkan ada ketentuan bahwa untuk satu lembang minimal harus 250 KK) dan sosialisasi perda No: 2/2001 tentang Pemerintahan Lembang tidak berbeda dengan sistem pemerintahan desa sebelumnya. Akibatnya, satu tahun setelah Perda ini diberlakukan terjadi kevakuman dalam pemerintahan lembang karena banyak kepala lembang masih menunggu petunjuk dari ‘atas’ dalam hal ini Pemerintah Kabupaten tentang pelaksanaan pemerintahan lemban. Ini artinya bahwa Pemahaman Kepala Lembang, Badan Perwakilan Lembang (BPL) dan masyarakat akan jiwa otonomi lembang yang otonom dalam mengatur dirinya sendiri belum berjalan.
Upaya yang dilakukan ornop di Toraja kemudian, dalam hal ini adalah WALDA, kemudian adalah berusaha memfasilitasi pembaruan lembang pada 15 lembang contoh.[26] Dalam setiap lembang contoh, dibentuk OC (organizing committee atau panitia pelaksana) dalam bahasa Toraja disebut (banne malapu’ lentek maringgana tondok) artinya yang diharapkan terlibat dalam OC adalah orang yang rela berkorban untuk berpikir, serta siap untuk turun ke masyarakat paling terpinggirkan untuk berdiskusi mencari jalan keluar bagi pembangunan lembang. Di samping itu, dipilih dua orang fasilitator untuk memfasilitasi proses diskusi di setiap kampung dalam rangka pembaruan lembang. Keseluruhan proses diskusi yang dilakukan di setiap kampung di lembang percontohan ini bertujuan untuk menemukenali, membentuk dan memperkuat organisasi-organisasi lokal serta melakukan ‘kombongan kampung’ (diskusi di tingkat kampung) untuk menemukan peta permasalahan umum atau masalah yang mendasar, merumuskan pokok pikiran untuk revisi Perda No 2 Tahun 2001 tentang Lembang dan mengagendakan rencana pembaruan lembang untuk beberapa waktu ke depan.Keseluruhan kegiatan ini dikawal dan diarahkan oleh 11 orang yang tergabung dalam suatu tim yang disebut Steering Committee (SC). SC yang bertanggung jawab mengawal dan mengarahkan proses pelaksanaan program hingga selesai ini terdiri dari berbagai pihak seperti Pemerintah Daerah, DPRD, Tokoh Masyarakat/Adat, Tokoh Agama dan ornop sendiri.
Dengan kata lain, sebenarnya saat ini tokoh-tokoh adat sedang mengukuhkan tampilan peran kepemimpinannya dalam Lembang – suatu satuan wilayah dan kelembagaan pemerintahan lokal yang menggantikan Desa. Dengan legitimasi yang telah diperoleh dari asal-usul kulturalnya, ornop bersama para pemimpin lokal ditantang untuk menunjukkan prestasi bahwa kelembagaan baru ini justru tampil lebih baik dari pemimpin Desa yang digantikannya. Ornop telah berhasil memanfaatkan pintu yang terbuka. Walaupun pada awalnya Ornop berada satu langkah di belakang Pemda dalam merebut opini publik tentang Lembang di tengah masyarakat, namun saat ini mereka sedang berusaha mengejar langkah dengan berupaya supaya implementasi dari otonomi lembang ini benar-benar bukan hanya baju baru dari apa yang dulu disebut dengan desa.
Pelajaran-pelajaran yang Dapat Dipetik
Berdasarkan dinamika yang terjadi di tiga wilayah belajar, seperti telah dijelaskan sebelumnya, ada temuan-temuan yang dapat dicermati lebih jauh untuk dipetik sebagai pelajaran :
Pertama, tentang pembaruan partisipasi rakyat terutama dalam pembentukan kebijakan publik. Untuk masyarakat di desa, berpartisipasi dalam menyusun kebijakan, jelas merupakan suatu hal baru. Karena mereka selama ini hanya terlibat pada tahap pelaksanaan sosialisasi kebijakan yang dilakukan Kepala Dusun, bukan dalam kegiatan perencanaannya. Dari kegiatan ini, selain mengerti bagaimana proses penyusunan sampai pengesahan kebijakan, masyarakat juga mulai memahami peran yang seharusnya dijalankan oleh wakil mereka yang duduk di DPRD. Masyarakat juga menjadi lebih berani bertemu dan berbicara di depan eksekutif dan legislatif. Masyarakat juga mulai membangun arena-arena diskusi mengenai otonomi desa. Dan yang paling penting adalah adanya kesadaran bahwa tanpa partisipasi penuh dari rakyat, kebijakan di tingkat lokal akan sangat jauh dari harapan mereka.
Kedua, pembentukan dan penguatan organisasi lokal. Diagendakannya otonomi asli menjadi pembuka kesempatan dalam penguatan kelembagaan lokal. Seperti contoh kasus di Sanggau, agenda pembaruan desa dan agraria kemudian menyebabkan terbentuknya suatu organisasi yang beranggotakan masyarakat adat (KKMA) yang kemudian secara intensif mengawal proses-proses yang terjadi. Di Garut, peran SPP pun semakin kuat dan terorganisir dengan wilayah jangkauan yang semakin meluas. Bagaimana pun juga, ujung dari penguatan lembaga lokal, adalah bagaimana agar rakyat bisa mengubah kehidupan mereka, agar mencapai sebuah taraf kehidupan baru yang lebih baik dan lebih bermartabat.
Ketiga, adalah tentang pembaruan watak dan kinerja serta relasi antara eksekutif dan legislatif. Dengan pengalaman di tiga wilayah beberapa waktu belakangan ini, ditarik pelajaran oleh kedua institusi tersebut mengenai pentingnya menjalin komunikasi dengan masyarakat. Mereka juga mulai mendapat penekanan agar supaya kebijakan yang diwujudkan dalam beberapa lembar kertas itu tidak dibuat asal-asalan berdasarkan pesanan penanam modal, pengusaha, bupati, gubernur, dll. Kesadaran sudah mulai terbangun bahwa saat ini ada ‘pengawas’ dari kerja mereka.
Sedangkan mengenai relasi antara eksekutif dan legislatif, dalam hal ini relasi yang seharusnya terjadi di masa depan, yaitu pola hubungan mitra --bukan dalam arti kolusi, melainkan hubungan yang setara dan kerja sama kritis (critical collaboration)-- antara eksekutif dan legislatif, sudah mulai nampak, walaupun tidak menunjukkan perubahan total. Kesaksian dari tiga wilayah belajar, menunjukkan bahwa pola hubungan yang masih tampak menonjol adalah pola hubungan atas-bawah. Terlihat masih banyak sisa-sisa watak lama pada anggota parlemen daerah, yakni sikap “minder” dari anggota parlemen di hadapan Bupati. Dalam kasus ini, parlemen daerah masih menempatkan diri berada di bawah eksekutif. Sebaliknya di pihak eksekutif masih menempatkan diri sebagai penguasa utama, sehingga (masih) berkecenderungan membatasi ruang gerak dari parlemen. Pembaruan pola hubungan ini baru nampak sedikit terlihat, dan untuk mencapai maksud dari pembaruan ini, pemahaman lebih lanjut mengenai format politik yang sudah berubah sangat diperlukan.
Keempat, adalah mengenai belum adanya political will baik dari eksekutif maupun legislatif yang memungkinkan pembaruan desa dan agraria, seharusnya menjadi catatan penting yang harus dipertimbangkan. Hal ini terkait erat dengan keberhasilan pencapaian tujuan. Misalnya dengan kasus Perda No.4 tentang Pemerintahan Kampung di Sanggau, ketika ternyata masyarakat merasa dibohongi ketika menemukan bahwa Perda Kampung yang disahkan ternyata sangat jauh dari apa yang mereka usulkan dan diajukan melalui hak inisiatif DPRD.
Kelima, berkaitan dengan poin sebelumnya maka diperoleh pelajaran mengenai pentingnya keterikatan rakyat dengan parlemen. Walaupun parlemen kuat, namun bila tidak memiliki ikatan yang jelas dengan para pemilihnya, maka hal tersebut akan tidak banyak artinya. Malahan, parlemen yang kuat hanya akan menjadi ajang “konspirasi” dan “politik dagang sapi”, yakni alat untuk memberikan tekanan pada eksekutif bagi kepentingan partai atau kepentingan golongan. Penguatan posisi parlemen yang tidak diikuti oleh perubahan dalam sistem kepartaian dan pendidikan politik rakyat, tidak akan banyak artinya. Parlemen diharapkan bisa “memaksa” eksekutif untuk bekerja sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh rakyat.
Oleh karena itu ornop dan masyarakat, seperti di Kalimantan Barat dan Garut merasa memerlukan adanya pembaruan watak dan kinerja parlemen daerah. Hal ini terutama berkaitan erat dengan sistem pemilihan umum di tahun mendatang. Dahulu, rakyat dimobilisir untuk memilih lambang-lambang partai-partai peserta pemilu, sementara itu partailah yang menentukan calon-calon anggota parlemennya, baik untuk parlemen daerah maupun pusat. Sementara untuk sistem pemilu mendatang, rakyat bebas akan memilih anggota parlemennya langsung. Dengan demikian, anggota parlemen yang terpilih akan memiliki kedekatan dengan rakyat pemilihnya. Pada masa-masa yang akan datang, pembaruan watak dan kinerja parlemen ini dimungkinkan oleh adanya pemilu sistem distrik ini.
Keenam, adalah tentang kapasitas dari lembaga yang mengawal proses pembaruan desa dan agraria. Berdasarkan pengalaman di tiga wilayah belajar, lembaga yang mengawal proses ini yaitu ornop memiliki keterbatasan daya jelajah dan intervensi terutama tentang konsep desa/lembang/kampung mendatang[27]. Hal yang paling nyata adalah adanya kenyataan bahwa keseluruhan kebijakan (dalam hal ini Perda tentang Desa) yang dikawal oleh ornop sendiri, apabila dicermati lebih mendalam isinya, maka tetap mencerminkan content yang terkandung dalam UU No.5 Tahun 79 tentang Pemerintahan Desa yang menjadi tonggak permasalahan penghancuran masyarakat adat secara sistematis.[28] Ternyata kerangka berpikir yang sudah terbentuk selama lebih dari 20 tahun ini sangat sulit untuk diubah. Kerangka berpikir dari ornop sendiri mengenai desa itu sendiri masih tidak dapat dipisahkan dari administratif bukan bagaimana membangun kembali sistem pengorganisasian hidup bersama.[29] Seperti misalnya dengan masih adanya dualisme institusi dalam masyarakat yang sebenarnya justru menjadi akar masalah semasa Pemerintahan Desa. Bila ditarik lagi kebelakang, masalah timbul ketika arena-arena dihilangkan dan kecerdasan berpikir masyarakat adat dihentikan secara paksa. Ruang yang diberikan hanyalah seputar untuk upacara-upacara keagamaan, kematian, perkawinan, dan semacamnya, tidak di luar itu.
Selain itu, ada kecenderungan juga bahwa ornop terjebak menjadi pendukung feodalisme, yang bagaimana pun harus disadari pengaruhnya dalam penciptaan masalah rakyat di masa lalu. Misalnya di Sanggau, kembali ke kampung didukung penuh oleh beberapa pihak karena dengan begitu berarti ada ‘pembagian wilayah kekuasaan baru’, karena dengan UU No.5 Tahun 79, beberapa kampung dikelompokkan menjadi satu desa. Berbeda dengan Sanggau, di Toraja menurut sebagian penduduk desa justru UU No.5 Tahun 1979 punya kelebihan yaitu pembebasan dari keterikatan-keterikatan feodal di masa lalu.
Satu hal lagi adalah mengenai kapasitas untuk menghitung struktur kesempatan yang terbentuk akibat perubahan konstelasi kekuatan politik yang masing-masing pemain politiknya memiliki kepentingan yang diperjuangkannya. Hal ini tampak nyata dalam kasus Sanggau, dimana ternyata Perda mengenai kampung yang disahkan bukan perda yang selama ini dikawal prosesnya
Ketujuh, tentang pembaruan relasi ornop dan pemimpin lokal dengan eksekutif dan legislatif. Dengan masuknya ornop ke arena pembentukan kebijakan daerah maka dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi pembaruan relasi. Misalnya di Garut, YAPEMAS dan SPP berhasil mendorong Pemda untuk bersama-sama melakukan revisi 13 Perda, bahkan Pemda kemudian meminta YAPEMAS untuk memfasilitasi membuat 10 desa percontohan di Kabupaten Garut sebagai laboratorium pembelajaran dari implementasi otonomi daerah
-000-
[1] Disajikan dalam rangka Sarasehan Masyarakat Adat Nusantara dengan tema “Pembaruan Desa Sebagai Upaya Penataan Ulang Relasi Negara dengan Masyarakat Adat”, yang diselenggarakan KARSA bekerjasama dengan AMAN, Desa Tanjung, Lombok Utara – NTB, 20-21 September 2003
[2] Staf KARSA (Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria), Yogyakarta. Alamat Kontak : Jl. Blimbing Sari CTIV, No. 38, Sleman 55281 – Yogyakarta.Telp (62) (274) 541602 / 561847. Fax. (62) (274) 583314. http://www.karsa.or.id E-mail: paramita_iswari@yahoo.com
[3] Lihat dalam Ringkasan Hasil Sarasehan Otonomi Daerah dalam Sarasehan Masyarakat Adat Nusantara, Jakarta 15-16 Maret 2003
[4] BP LAPPERA, Mempertegas Identitas dengan Kembali ke Sistem Pemerintahan Kampung ; Pengalaman Masyarakat Sanggau Mengupayakan Perda Sistem Pemerintahan Kampung, 2002
[5] Dalam Noer Fauzi dan Yando Zakaria “Mendemokratiskan Desentralisasi : Beberapa Prakarsa Lokal dari Indonesia” 2002, disebutkan bahwa pernyataan ralat dalam bagian Menimbang butir e. UU No. 22 tahun 1999 yang menyatakan bahwa UU Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa tidak sesuai dengan jiwa UUD 1945, merupakan koreksi yang tepat dan aspiratif, meski rumusan kalimatnya eufimistis (telah dilunakkan). Seperti yang dikatakan R. Yando Zakaria bahwa sebenarnya kata yang lebih tepat menghubungkan antara UU itu dengan jiwa UUD 1945 bukanlah kata ‘tidak sesuai’, melainkan ‘pelanggaran’. Karena kata ‘tidak sesuai’ membangun citra adanya ketidaksengajaan. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah hasil dari suatu ‘kesalahan yang sengaja. Sedangkan kata ‘pelanggaran’ justru akan bercitra sebaliknya, yang mengundang suatu pertanggungjawaban untuk memulihkan kondisi korban-korban di satu pihak, dan mendidik kembali pemegang kekuasaan Negara ini untuk tidak begitu mudah melakukan pelanggaran-pelanggaran hak warganya melalui pembuatan dan pemberlakukan peraturan perundangan-undangan
[6] Menurut Hendro Sangkoyo, 2001 terdapat 3 (tiga) jenis krisis, yang terdiri dari (i) krisis keselamatan penduduk lokal, seperti terjadinya negaranisasi tanah dan sumber daya alam lain milik penduduk, dan kemudian pemerintah pusat dengan mudahnya menerbitkan hak-hak baru di atasnya untuk pihak badan usaha skala raksasa; (ii) krisis layanan alam, berupa kerusakan ekologi, dan menurunnya daya dukung lingkungan, sebagai akibat dari praktek eksploitasi dan ekstraksi sumber daya alam bersar-besaran; (iii) krisis produktivitas, berupa merosotnya kemampuan rakyat untuk memproduksi barang kebutuhan hidup dan komoditas yang dapat meningkatkan kesejahteraannya.
[7] Ketegangan tersebut adalah ketegangan yang terjadi antara DPRD dengan Pemerintah Kabupaten, antara Daerah dengan Pusat dan antara Desa dengan Pemerintahan Daerah
[8] Sebagian besar dari tulisan ini diambil dari Noer Fauzi dan Yando Zakaria (2002), ditambah dengan laporan hasil supervisi lapangan dan laporan kemajuan enam bulanan untuk KARSA dari wilayah belajar Sanggau.
[9] Berdasarkan catatan dari LBBT dan PPSHK ditemukan lebih dari 20 kasus yang terkait dengan HPH dan perkebunan besar terutama kelapa sawit yang mengakibatkan konflik dan marginalisasi masyarakat adat di Kabupaten Sanggau (BP LAPPERA, Mempertegas Identitas Kembali ke Pemerintahan Kampung ; Pengalaman Masyarakat Sanggau Mengupayakan Perda Sistem Pemerintahan Kampung)
[10] Adapun alasan yang ditemukan dalam konsultasi-konsultasi itu antara lain: (i) bahwa sistem pemerintahan kampung yang dilaksanakan sebelum regrouping desa ternyata mampu mensejahterakan masyarakat; (ii) setelah terjadi regrouping desa yang didasarkan UU No 5 Tahun 1979, terjadi penyeragaman sistem dan bentuk pemerintahan pada tingkat lokal; (iii) kampung-kampung yang selama ini mandiri kemudian banyak yang menjadi RT; (iv) mempersulit urusan pemerintahan pada tingkat lokal, karena dusun satu dengan dusun yang lainnya dalam satu kedesaan letaknya berjauhan; (v) masyarakat sulit dalam berurusan karena untuk mencapai pusat desa jaraknya sangat jauh. Hal ini juga menghambat administrasi pemerintahan; (vi) warga dusun banyak yang tidak mengenal siapa pemimpin mereka (Kades); dan (vii) musnahnya lembaga adat, semangat gotong royong karena segala sesuatu dinegaraisasi. (Lihat: Rona, 2001).
[11] KKMA atau Kelompok Kerja Masyarakat Adat adalah suatu kelompok yang bersifat cair dan terbuka untuk umum bagi mereka yang mempunyai visi sama yaitu perjuangan kedaulatan rakyat dengan kembali ke Sistem Pemerintahan Kampung. Kelompok ini dibentuk oleh Masyarakat Adat Kabupaten Sanggau dalam rangka mengawal proses perjuangan Raperda Sistem Pemerintahan Kampung. Pembentukan KKMA dilakukan pada akhir Februari 2001. Anggota KKMA terdiri dari 2 kelompok: Tim Kampung yang terdiri dari 150 orang yang tersebar di lebih dari 18 kecamatan dan Tim Lobby yang terdiri dari 11 orang dimana 2 diantaranya adalah perempuan. Tim Kampung yang bertugas untuk: (i) Menyampaikan informasi ke Masyarakat Adat di kampung-kampung berkaitan dengan perkembangan Raperda Sistem Pemerintahan Kampung; (ii) Menggalang massa dalam rangka strategi mendesak Raperda SPK menjadi Perda SPK; dan (iii) Menghimpun surat pernyataan yang mendukung dan desakan terhadap Raperda SPK. Sedangkan Tim Lobby bertugas untuk: (i) Sosialisasi dan mendesak Raperda SPK ke Pemerintah Daerah Kabupaten Sanggau (eksekutif); (ii) Memantau perkembangan pembahasan Raperda SPK; (iii) Mengusulkan ke DPRD agar tim ini bisa masuk ke Pansus DPRD kab. Sanggau untuk pembahasan Raperda pengganti Perda Sistem Pemerintahan Desa; (iv) Menyebarkan informasi berkaitan dengan perkembangan Raperda SPK baik di DPRD maupun di Pemda kepada Masyarakat Adat baik melalui tim kampung maupun langsung; (v) Turut serta dalam sidang-sidang pembahasan Raperda SPK; dan (vi) Konsolidasi dengan tim kampung dan Masyarakat Adat untuk pengawalan Raperda SPK.
[12] Bahkan, ironisnya, dalam dokumen draft Raperda itu masih termuat kata-kata “Nagari”.
[13] Beberapa lembaga di bawah naungan Yayasan Pancur Kasih seperti LBBT (Lembaga Bela Benua Talino), PPSHK (Program Pengembangan Sistem Hutan Kerakyatan) dan PPSDAK (Program Pemetaan Sumberdaya Alam Kerakyatan) memiliki program salah satunya di wilayah Kabupaten Sanggau. Dengan dinamika yang terjadi di wilayah ini digabung dengan ide untuk mendekatkan pelayanan ke komunitas dampingan dari masing-masing lembaga maka dibentuklah Distrik Office Sanggau.
[14] Konsolidasi massa pertama dilakukan pada tanggal 7 Desember 2002. Dengan massa sekitar 70 orang (7 diantaranya adalah Tumenggung Adat) yang berasal dari 10 kecamatan, upaya ini bertujuan menghadirkan wakil-wakil baik dari DPRD maupun Pemkab Sanggau untuk duduk satu meja mendengarkan aspirasi masyarakat dan sejumlah tuntutan tertulis yang disampaikan Masyarakat Adat Kabupaten Sanggau untuk secepatnya membahas Ranperda Sistem Pemerintahan Kampung. Konsolidasi massa kedua, dengan massa sekitar 500 orang, dilakukan pada tanggal 30 Desember 2002, pada saat pengesahan Ranperda menjadi Perda Pemerintahan Kampung.
[15] Kompas, Selasa 26 Agustus 2003
[16] Sebagian besar dari tulisan ini diambil dari Noer Fauzi dan Yando Zakaria (2002), Ibang Lukmanuddin “Gerakan Pembaruan Desa dan Agraria di Kabupaten Garut (Sebelum dan Setelah Dijalankannya Program oleh KARSA)” ,2003, ditambah dengan laporan hasil supervisi lapangan dan laporan kemajuan enam bulanan untuk KARSA dari wilayah belajar Garut
[17] Perda No 10 tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan BPD, Perda no 11 tahun 2000 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa, Perda No 12 tahun 2000 tentang Peraturan Desa, Perda No 13 tentang Susunan Organisasi Pemerintah Desa, Perda No 14 tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan dan atau Pengangkatan Perangkat Desa, Perda No 15 tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa, Perda No. 16 tahun 2000 tentang Sumber Pendapatan Kekayaan Desa, Pengurusan dan Pengawasan, Perda No. 17 tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan Angaran Pendapatan dan Belanja Desa, Perda No. 18 tahun 2000 tentang Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan di Desa, Perda No.19 tahun 2000 tentang Kerjasama Antar Desa, Perda No.20 tentang Pembentukan Penghapusan dan Pengabungan Pesa, Perda No.21 tahun 2000 tentang Pembentukan Penghapusan dan Penggabungan Kelurahan, dan Perda No 22 tahun 2000 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat Kebiasaan-Kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat.
[18] Sebagaimana dimaksud oleh Peraturan Pemerintah No. 25 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, Bab IV Pasal 8, yang berbunyi, “Perizinan dan perjanjian kerja sama Pemerintah dengan pihak ketiga berdasarkan kewenangan Pemerintah sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya perizinan dan perjanjian kerja sama”.
[19] Keppres ini diedarkan ke semua daerah kabupaten melalui Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN yang menegaskan “tetap berlakunya seluruh perundang-undangan dan peraturan pemerintah produk mulai Undang-undang Pokok Agraria (UU nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria) hingga Surat Edaran Menteri yang pernah dikeluarkan”.
[20] Tercatat ada dua aksi demonstrasi massa yang menyuarakan hal yang sama, yakni menyokong keluarnya TAP MPR tentang Pembaruan Agraria: (i) aksi yang melibatkan lebih dari 10.000 petani pada tanggal 14 Spetember 2001, dimana aksi itu pada mulanya hendak menuju Hotel Panghegar, tempat penyelenggaraan Semiloka Nasional “Pengelolaan Sumberdaya Alam Berkelanjutan yang Ramah Lingkungan dan Pembaruan Agraria untuk Keadilan dan Kemakmuran Rakyat”, yang diselenggarakan oleh Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR-RI bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran dan Institut Teknologi Bandung, Hotel Panghegar, 14-16 September 2001. Namun, karena ada barikade yang dibuat oleh Kepolisian Daerah Jawa Barat, di Cicalengka maka pertemuan dengan pimpinan Panitia ad hoc berlangsung di Cicalengka; (ii) aksi yang melibatkan seribuan orang petani di Gedung MPR RI pada tanggal 7 November 2001, saat ketika sidang tahunan MPR berlangsung. Massa aksi itu ditemui oleh pimpinan sidang Komisi B-2, yang membahas RanTAP MPR RI tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
[21] Dengan TAP itu, MPR memberi mandat pada Presiden untuk “Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat”; "Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum”; “memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi”; dan “Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.” Mandat itu harus dijalankan oleh Presiden RI dan Para Pembantunya – termasuk mereka yang berada di Kabupaten yang menerima penyerahan kewenangan. Meskipun mandat itu telah ditetapkan, dan Presiden telah ditugaskan untuk menjalankannya, namun jarak antara apa yang ditugaskan pada Presiden itu, dengan penderitaan yang dialami penduduk masih terlampau jauh. Dinamika di tingkat kebijakan daerah, masih membuka banyak kemungkinan, yang salah satu kemungkinannya merupakan respons yang efektif terhadap gerakan Yapemas-SPP.
[22] Dalam lokakarya ini keterampilan-keterampilan organisasi rakyat dan masyarakat desa di fasilitasi untuk memperoleh ketajaman membaca dalam: pertama, penyerahan kewenangan dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah tanpa kendali langsung dari rakyat mengandung implikasi bahwa “segala penyakit yang tadinya ada di pemerintahan pusat beralih ke pemerintahan daerah” atau ketidakmampuan pemerintahan daerah untuk menjalankan wewenang yang diserahkan tersebut. Kedua ,bagaimana membanguna perpolitikan pemerintahan daerah yang dapat melayani hajat hidup penduduk lokal, dan bukan justru, atas nama reformasi dan otonomi daerah, terjadi penguatan eksploitasi, penindasan dan penaklukan penduduk lokal oleh elit politik yang baru. Ketiga, memiliki keterampilan dalam melakukan pemberdayaan pemberdayaan untuk penyelengara negara di tingkat lokal. Keempat, memiliki keterampilan dalam menggunakan isue pembaharuan agraria dalam kontek otonomi daerah.kelima, memahami pentingnya agenda pembaharuan agraria dan desa. Kelima, memliki keterampilan untuk menyusun strategi pelaksanaan optimalisasi pemanfaatan sumber daya agraria. Keenam, membuka akses informasi bagi masyarakat berkenaan dengan adeanda pembaharuan agraria dan desa selain mengembangkan dan menumbuhkan teknologi lokal, teknologi ramah lingkungan. Ketujuh, Memiliki kemampuan dan keterampilan mengkaji ulang kebijakan sektoral dan singkronisasi kebijakan sektoran
[23] Tujuan dari pembentukan forum-forum di tingkat BPD ini diantaranya : pertama, untuk mengontrol dan mengawal proses Perencanaan Pembangunan. Kedua, mendorong keterampilan pengetahuan BPD dalam mendorong demokratisasi. Ketiga, mendorong perubahan watak penyelenggara pemerintah. Keempat, mewujudkan pemerintahan yang akuntabilitas. Kelima, mendorong meningkatkan pelayanan publik. Keenam, menciptakan dan membuka aset informasi bagi masyarakat berkenaan dengan berbagai agenda pemerintahan. Ketujuh, ikut menentukan arah pembangunan partisifatif. Kedelapan, menjaga wilayah sumber daya agraria dari sistem kebijakan konvensional. Kesembilan, menciptakan kebijakan daerah yang partisipatif.
[24] Sebagian besar dari tulisan ini diambil dari Noer Fauzi dan Yando Zakaria (2002), ditambah dengan laporan hasil supervisi lapangan dan laporan kemajuan enam bulanan untuk KARSA dari wilayah belajar Toraja.
[25] Anton Nomba, M.Imran Amin dan Aziz Paturungi “ Kembali ke Sistem Pemerintahan Lembang” dalam Budi Baik Siregar, dkk, “Kembali ke Akar : Kembali ke Konsep Otonomi Masyarakat Aslii”, 2002.
[26] Kelima belas lembang yang dipilih sebagai lembang contoh merupakan lembang yang dianggap dapat mewakili kecamatan (1 kecamatan – 1 lembang). Hal ini dilakukan dengan harapan agar lembang-lembang tersebut dapat mengembangkan proses pembaruan desa ke lembang-lembang lain di wilayah sekitarnya dalam satu areal kecamatan. Pemilihan 15 lembang didasarkan pada beberapa kriteria sebagai berikut : (i) Lokasi lembang berada pada daerah yang jauh dari kota sehingga interaksi masyarakat juga tidak terlalu dipengaruhi gaya kota (misalnya Lembang Marinding), (ii) Lokasi lembang berada dekat/berbatasan dengan kota sehingga masyarakatnya sudah banyak dipengaruhi oleh gaya hidup kota (Kelurahan Layang Tanduk), (iii) Masyarakat yang masih mengerjakan ladang secara berpindah-pindah (Lembang Barumbun), (iv) Masyarakat yang masih menjaga kelestarian alam dengan relatif baik (Lembang Sadan Hulu)
[27] Desa atau nama lain, pada dasarnya dapat menjadi lembaga yang memotori gerak pembaruan yang mendasar. Khusus untuk yang disebut sebagai Lembaga Adat harus disadari bahwa ia tidak selalu atau tidak otomatis bermakna sebagai lembaga yang demokratis dan emansipatoris (membebaskan). Pada kelembagaan adat yang merupakan bagian dari mesin feodalisme, bagaimana pun harus disadari pengaruhnya dalam penciptaan masalah rakyat. Oleh sebab itu, yang segera menjadi masalah adalah bagaimana menggunakan pintu pemberian otoritas lokal ini menjadi titik masuk bagi demokratisasi dan emansipasi rakyat.
[28] Dikemukakan oleh R. Yando Zakaria dalam Pertemuan Perencanaan Strategis Forum Pengembangan Pembaruan Desa, Surabaya 10-11 September 2003
[29] Bagaimanapun juga untuk pertama kalinya perlu visi yang jelas dari desa yang dibayangkan di masa mendatang. Ketika bayangan mengenai desa ini tidak berbeda dengan desa pada masa lalu, maka serangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan utama menata kembali kehidupan yang carut marut karena penyeragaman jangan-jangan malah justru memperparahnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar