Abstract
Many architects believe that form and function in architecture is a response of the environment. Finally, we believe that traditional architecture is a manifestation of the local environmental response, including climate.
This paper is a part of an explorative study we have been doing about form and function change on Buginese traditional architecture at Kamal Muara Coastal Area, North Jakarta. Originally, the Buginese live in the peninsula of Sulawesi, including South Sulawesi Province. Some architectural elements, we guess, are an acculturation forms, are spatial pattern, stylistica pattern, and structure pattern (Schultz, 1988)
Keyword: Buginese architecture, traditional architecture, acculturation, form and function, environment.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penelitian tentang bentuk dan fungsi pada Rumah Tradisional Bugis di Kamal Muara Jakarta Utara ini merupakan satu upaya penelitian dalam konteks Arsitektur Tradisonal sebagai eksplorasi konsep bangunan yang pernah dikembangkan pada lalu untuk dilihat bagaimana perkembangannya pada masa kini di dalam lingkungan baru yang jauh dari asal tradisinya.
Rumah adalah kebudayaan fisik, yang dalam konteks tradisional merupakan bentuk ungkapan yang berkaitan erat dengan kepribadian masyarakatnya. Ungkapan fisiknya sangat dipengaruhi oleh faktor sosio-kulural dan lingkungan di mana ia tumbuh dan berkembang. Perbedaan wilayah dan latar budaya akan menyebabkan perbedaan pula dalam ungkapan arsitekturalnya.
Rumah Bugis di Kamal Muara Jakarta Utara adalah satu fenomena menarik yang perlu dilihat latar balakang ungkapannya dalam bentuk dan fungsi ruangnya secara arsitektural. Ia muncul akibat adanya para pendatang atau pemukim yang berasal dari suku Bugis di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Secara incremental dan evolutif membentuk citra lingkungan baru di wilayah itu dengan mengangkat pola bentuk rumah sesuai dengan asal tradisinya.
Salah satu faktor penting yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah bagaimana masyarakat Bugis ini mengantisipasi karakter lingkungan yang berbeda membentuk satu lingkungan hunian dengan karakter bentuk dan fungsi rumah yang masih mencirikan tradisi Bugis. Faktor apakah yang mendominasi keberlanjutan bentuk itu dan kendala apakah yang dihadapi dalam upayanya mempertahankan tradisinya dalam wujud bentuk dan fungsi rumah tinggalnya.
METODOLOGI
Populasi, Sample dan Satuan Kajian
Populasi yang akan diteliti adalah seluruh wilayah pemukiman Suku Bugis di Kamal Muara, Jakarta Utara. Sampel ditentukan secara purposive dengan jumlah yang tidak terlalu banyak. Kriteria sample untuk memaksimalkan keragaman dan gambaran konsep ruang secara spesifik, sekaligus dapat mewakili kelompok rumah dan komunitas yang lebih besar. Untuk mendapatkan informasi lengkap diperlukan informan, baik informan pangkal maupun informan pokok. Satuan kajian adalah menyangkut perubahan pola bentuk dan fungsi rumah dari sudut spasial, stilistika dan sistem strukturnya dengan variable peubah lingkungan fisik, faktor tradisi dan perilaku sosial.
Metode Penelitian
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan pertimbangan :
Penelitian mengenai rumah tradisional pada umumnya lebih memiliki kaitan dengan nilai-nilai sosio kultural yang memiliki makna dan nilai heterogen serta pengertian symbol-simbol tradisi yang bersifat metaforik.
Keterkaitan antara bentuk dan fungsi ruang dengan faktor yang melatarbelakanginya sulit dideskripsikan secara deterministik. Diperlukan pendekatan yang bersifat holistik sehingga menuntut interpretasi yang sensitif dan adaptif terhadap pengaruh-pengaruh yang tidak saja bersifat fisik.
TINJAUAN TEORI
Bentuk dan Fungsi Arsitektur Sebagai Respon Terhadap Lingkungan
Manusia selalu berdampingan dengan alam dan tidak dapat melepaskannya dari batasan dan hukum-hukumnya. Karenanya iklim dan lingkungan memegang peranan yang penting dalam membentuk cara hidup manusia atau (lebih jauh) kebudayaan manusia. Keadaan alam yang berbeda melahirkan kebudayaan berbeda pula, demikian pula dengan arsitektur.
Semula arsitektur lahir sekadar untuk menciptakan tempat tinggal sebagai wadah perlindungan terhadap gangguan lingkungan: alam dan binatang (Rapoport,1969). Dengan demikian bentuk dan fungsi dalam arsitektur adalah respon manusia terhadap lingkungan (Crowe, 1995). Dalam perkembangannya respon terhadap lingkungan yang sama memiliki kecenderungan untuk menghasilkan satu cara dan bentuk yang sama. Suatu cara yang lahir begitu saja dan kemudian membentuk satu pola yang dianut bersama dan menjadi satu tradisi yang dikenal sebagai arsitektur vernacular (Rudolvsky, 1964). Grillo (dalam Sutedjo, 1982) memperkenalkan pula istilah archetype, yaitu bangunan pada suatu daerah yang sama memiliki bentuk dan ciri-ciri yang sama pula.
Salah satu faktor penting pewujud bentuk dalam arsitektur adalah fungsi. Karena pada dasarnya arsitektur adalah wadah pemenuhan kebutuhan terhadap aktivitas manusia, tercakup di dalamnya kondisi alami. Sedangkan aktivitas timbul dari kebutuhan manusia, baik fisik maupun psikologis. Fungsi dapat berubah dan berkembang terus-menerus tidak pernah berhenti. Menurut Horatio Greenough (dalam Sutrisno, 1984) terdapat hubungan erat antara bentuk, fungsi, dan alam. Ia memperkenalkan form follow function (bentuk mengikuti fungsi) dengan dua prinsip utama: bentuk akan berubah jika fungsi berubah dan fungsi baru tidak mungkin diikuti bentuk lama.
Schultz (1988), membagi tugas bangunan menjadi dua kutub utama yakni lingkungan fisik dan simbol yang saling berkaitan. Pallasma juga mengemukakan bahwa penghuni atau pengamat dalam arsitektur terhadap keseluruhan bentuk fisiknya tidak semata melayani fungsi arsitektur berkenaan dengan kenyamanan dalam pengertian termal, cahaya dan kekakuan secara fisik tetapi juga kesan, pengalaman dan makna yang terpendam yang mengajak dan diajak berkelana ke dalam keseluruhan penampakannya dalam sebuah geometri rasa. Ada berbagai kemungkinan penyelesaian bentuk dalam arsitektur sekali pun tujuan fungsional dan kondisi lingkungannya sama.
Arsitektur adalah lingkungan alamiah yang sengaja ditata dan dibangun untuk kepentingan tertentu dalam hidup manusia. Bentuk, fungsi dan simbol adalah perangkat yang saling berhubungan dan secara bersama-sama membentuk wujud keseluruhan dari objek arsitektur. Seluruh kultur dalam sebuah lingkungan dapat saja mempengaruhi dan membentuk cara bagaimana arsitektur dibangun dan dikembangkan (Agrest,1976). Penyusunan seluruh elemen dalam keutuhan arsitektur tidak bisa ditafsirkan dalam satu frame tunggal atau parsial. Perwujudan bentuk dan keterkaitan dengan fungsi di dalamnya melibatkan banyak aspek yang perlu dilihat secara holistik.
Kebudayaan dan Arsitektur Bugis
Kebudayaan Bugis seringkali digabungkan dengan kebudayaan Makassar, lalu disebut kebudayaan Bugis-Makassar (Mattulada dalam Koentjaraningrat, 1999). Kebudayaan tersebut mendiami bagian terbesar jasirah Selatan pulau Sulawesi, atau termasuk dalam propinsi Sulawesi Selatan. Penduduk propinsi Sulawesi Selatan sendiri terdiri dari empat suku yaitu: Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar.
Bardasarkan hasil penelitian etnologi, suku Bugis merupakan keturunan Melayu Muda (Deutro Melayu) yang berasal dari India Belakang. Mereka datang ke kepulauan Nusantara secara bergelombang. Gelombang pertama adalah Melayu Tua yang merupakan nenek moyang suku Toraja. Gelombang kedua, Melayu Muda merupakan nenek moyang suku Bugis, Mandar, dan Makasar.
Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar. Huruf yang dipakai adalah aksara lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta.
Kampung kuno orang Bugis umumnya terdiri dari sejumlah keluarga, antara 10 sampai 200 rumah. Rumah-rumah tersebut biasanya berderet, menghadap Selatan atau Barat. Jika ada sungai, maka diusahakan agar rumah-rumah tersebut membelakangi sungai. Pusat dari kampung lama merupakan suatu tempat keramat (possi tama) dengan suatu pohon beringin yang besar, dan kadang-kadang dengan satu rumah pemujaan (saukang). Selain tempat keramat, suatu kampung umumnya juga memiliki langgar atau masjid.
Pola perkampungan orang Bugis umumnya adalah mengelompok padat dan menyebar. Pola mengelompok banyak terdapat di dataran rendah, dekat persawahan, pinggir laut, dan danau, sedangkan pola menyebar banyak terdapat di pegunungan atau perkebunan. Selain itu perkampungan orang Bugis juga dapat dibedakan berdasarkan tempat pekerjaan, yaitu:
1. Pallaon ruma (kampung petani)
2. Pakkaja (kampung nelayan)
3. Matowa (kepala kampung)
Selain pembagian berdasarkan tempat pekerjaan di atas, pada kampung Bugis juga terdapat pasar kampung, kuburan, dan masjid/mushala.
Orang Bugis juga mengenal sistem tingkatan sosial yang sangat berkait dengan arsitektur. Pelapisan sosial tersebut antara lain adalah: Anakarung (bangsawan), to maradeka (rakyat biasa), dan ata (sahaya)
Berdasarkan lapisan sosial penghuninya, berdampak pada pola bentuk rumah yang disimbolkan berbeda-beda, yaitu:
1. Sao-raja (sallasa), adalah rumah besar yang didiami keluarga kaum bangsawan (Anakarung). Biasanya memiliki tiang dengan alas bertingkat di bagian bawah dan dengan atap di atasnya (sapana) yang memiliki bubungan bersusun tiga atau lebih,
2. Sao-piti’, bentuknya lebih kecil tanpa sapana, dan memiliki bubungan yang bersusun dua.
3. Bola, merupakan rumah bagi masyarakat umumnya.
Berdasarkan pola morfologinya, arsitektur Tradisional Bugis dapat dilihat dari beberapa segi sebagai berikut:
A. Pola Penataan Spatial
Arsitektur rumah Bugis umumnya tidak bersekat-sekat. Bentuk denah yang umum adalah rumah yang tertutup, tanpa serambi yang terbuka. Tangga depan biasanya di pinggir. Di depan tangga tersedia tempat air untuk mencuci kaki. Tangga rumah tersebut berada di bawah atap (Sumintardja, 1981). Selain itu rumah Bugis umumnya memiliki suatu ruang pengantar yang berupa lantai panggung di depan pintu masuk, yang dinamakan tamping. Biasanya tempat ini difungsikan sebagai ruang tunggu bagi para tamu sebelum dipersilakan masuk oleh tuan rumah.
Rumah Bugis juga dapat digolongkan menurut fungsinya (Mattulada dalam Koentjaraningrat, 1999). Secara spatial vertikal dapat dikelompokkan dalam tiga bagian berikut:
1. Rakeang, bagian atas rumah di bawah atap, terdiri dari loteng dan atap rumah yang dipakai untuk menyimpan padi dan lain persediaan pangan serta benda-benda pusaka. Selain itu karena letaknya agak tertutup sering pula digunakan untuk menenun dan berdandan.
2. Alo-bola (alle bola), terletak antara lantai dan loteng ruang dimana orang tinggal dan dibagi-bagi menjadi ruang-ruang khusus, untuk menerima tamu, tidur, makan,
3. Awaso, kolong rumah yang terletak di bagian bawah antara lantai dengan tanah atau bagian bawah lantai panggung yang dipakai untuk menyimpan alat-alat pertanian dan ternak.
Sedangkan penataan spatial secara horisontal, pembagian ruang yang dalam istilah Bugis disebut lontang (latte), dapat dikelompokkan dalam tiga bagian sebagai berikut :
1. Lontang risaliweng (ruang depan), Sifat ruang semi private, berfungsi sebagai tempat menerima tamu, tempat tidur tamu, tempat bermusyawarah, tempat menyimpan benih dan tempat membaringkan mayat sebelum dikebumikan. Ruang ini adalah ruang tempat berkomunikasi dengan orang luar yang sudah diijinkan untuk masuk. Sebelum memasuki ruang ini orang luar diterima lebih dahulu di ruang transisi (tamping).
2. Lontang retengngah (latte retengngah) atau ruang tengah. Sifat ruang private, berfungsi untuk tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat makan, melahirkan. Pada ruang ini sifat kekeluargaan dan kegiatan informal dalam keluarga amat menonjol.
3. Lontang rilaleng (latte rilaleng), sifat sangat private. Fungsi ruang ini untuk tempat tidur anak gadis atau nenek/kakek. Anggota keluarga ini dianggap sebagai orang yang perlu perlindungan dari seluruh keluarga.
Untuk Sao raja, ada tambahan dua ruangan lagi:
1. Lego-lego
Ruang tambahan, jika di depan difungsikan sebagai tempat sandaran, tempat duduk tamu sebelum masuk, tempat menonton ada acara di luar rumah.
- Dapureng (jonghe)
Biasanya diletakkan di belakang atau samping. Fungsinya untuk memasak dan menyimpan peralatan masak
B. Pola Penataan Stilistika
1. Atap
Penampakan bangunan tersusun dari tiga bagian sesuai dengan fungsinya. Bagian atas (rakeang) baik untuk rumah bangsawan (Sao raja) maupun rumah rakyat biasa (Bola), terdiri dari loteng dan atap. Atap berbentuk prisma, memakai tutup bubungan yang disebut Timpak Laja. Timpak laja memiliki bentuk yang berbeda antara sao raja dan bola. Bagian ini diibaratkan sebagai kepala bangunan. Pada sao raja terdapat timpak laja yang bertingkat-tingkat antara tiga sampai lima. Timpak laja yang bertingkat lima menandakan rumah tersebut kepunyaan bangsawan tinggi. Timpak laja bertingkat empat, adalah milik bangsawan yang memegang kekuasaan dan jabatan-jabatan tertentu. Bagi bangsawan yang tidak memiliki jabatan pemerintahan timpak lajanya hanya bertingkat tiga.
Rakyat biasa yang diklasifikasikan ke dalam kelompok to maradeka dapat juga memakai timpak laja pada atap rumahnya, tetapi hanya dibenarkan membuat maksimal dua tingkatan timpak laja.
2. Bukaan
Dinding terbuat dari kayu yang disusun secara Salah satu bukaan yang terdapat pada dinding depan ialah pintu (babang/tange). Fungsinya adalah untuk jalan keluar/masuk rumah. Tempat pintu biasanya selalu diletakkan pada bilangan ukuran genap, misalnya ukuran rumah 7 (tujuh depa) maka pintu harus diletakkan pada depa yang ke 6 (enam) atau ke 4 (empat) diukur dari kanan rumah. Bila penempatan pintu ini tidak tepat pada bilangan genap, dapat menyebabkan rumah mudah untuk dimasuki pencuri atau penjahat.
Bukaan lain adalah jendela (tellongeng). Fungsinya adalah bukaan pada dinding yang sengaja dibuat untuk melihat keluar rumah dan juga berfungsi sebagai ventilasi udara ke dalam ruangan. Peletakannya biasanya pada dinding diantara dua tiang. Pada bagian bawahnya biasanya diberi tali atau penghalang (Sumintardja, 1981). Untuk memperindah biasanya ditambahkan hiasan berupa ukiran sebagai hiasan atau terali dari kayu dengan jumlah bilangan ganjil. Jumlah terali dapat menunjukkan status penghuninya. Jika jumlah terali 3-5 menunjuukan rakyat biasa dan jika 7-9 menunjukkan rumah bangsawan.
3. Ragam Hias
Ragam hias bangunan arsitektur Bugis umumnya bersumber dari alam sekitar, biasanya berupa flora, fauna dan tulisan huruf Arab atau kaligrafi.
Ragam hias flora biasanya berupa bunga parengreng yang berarti bunga yang menarik. Bunga ini hidupnya menjalar berupa sulur-sulur yang tidak ada putus-putusnya. Biasanya ditempatkan pada papan jendela, induk tangga dan tutup bubungan. Makna bunga parengreng ini diibaratkan sebagai rezeki yang tidak terputus seperti menjalarnya bunga parengreng.
Ragam hias fauna biasanya berupa ayam jantan, kepala kerbau dan bentuk ular naga. Ayam jantan dalam bahasa Bugis disebut manuk yang berarti baik-baik. Selain itu juga sebagai simbol keberanian. Biasanya ditempatkan di puncak bubungan rumah bagian depan atau belakang
Ragam hias kepala kerbau melambangkan kekayaan dan status sosial. Biasanya ditempatkan pada pucuk depan atau belakang bubungan untuk rumah bangsawan.
Ragam hias naga atau ular besar melambangkan kekuatan yang dahsyat. Biasanya ditempatkan pada pucuk bubungan atau induk tangga.
Ragam hias yang berupa kaligrafi dan bulan sabit biasanya ditempatkan pada bangunan peribadatan atau masjid.
Ragam hias flora yang berupa sulur-sulur bunga yang menjalar biasanya menggunakan teknik pahat tiga dimensi yang membentuk lobang terawang. Bentuk demikian selain makin menampakkan keindahan karena adanya efek pencahayaan yang dibiaskan juga dapat menyalurkan angin dengan baik.
C. Pola Penataan Struktur
Bahan bangunan utama yang banyak digunakan umumnya kayu. Bahan bangunan yang biasanya digunakan : Kayu Bitti, Ipi, Amar, Cendana, Tippulu, Durian, Nangka, Besi, Lontar, Kelapa, Batang Enau, Pinang, Ilalang dan Ijuk.
Dinding dari anyaman bambu atau papan. Atap dari daun nipah, sirap atau seng. Sistem struktur menggunakan rumah panggung dengan menggunakan tiang penyangga dan tidak menggunakan pondasi. Rumah tradisional yang paling tua, tiang penyangganya langsung ditanam dalam tanah. Tahap yang paling penting dalam sistem struktur bangunan adalah pembuatan tiang (aliri). Pembuatan tiang dimulai dengan membuat posi bola (tiang pusat rumah). Bila rumah terdiri dari dua petak maka letak tiang pusat ialah pada baris kedua dari depan dan baris kedua dari samping kanan. Bila tiga petak atau lebih maka letak tiang pusat adalah baris ketiga dari depan dan baris kedua dari samping kanan.
Secara terinci ciri-ciri struktur rumah orang Bugis antara lain adalah:
1. Minimal memiliki empat petak atau 25 kolom (lima-lima) untuk sao-raja dan tiga petak atau 16 kolom (untuk bola)
2. Bentuk kolom adalah bulat untuk bangsawan, segiempat dan segidelapan untuk orang biasa
3. Terdapat pusat rumah yang disebut di Pocci (posi bola) berupa tiang yang paling penting dalam sebuah rumah, biasanya terbuat dari kayu nangka atau durian; letaknya pada deretan kolom kedua dari depan, dan kedua dari samping kanan.
4. Tangga diletakkan di depan atau belakang, dengan ciri-ciri:
a. Dipasang di ale bola atau di lego-lego.
b. Arahnya ada yang sesuai dengan panjang rumah atau sesuai dengan lebar rumah.
5. Atap berbentuk segitiga sama kaki yang digunakan untuk menutup bagian muka atau bagaian belakang rumah
6. Lantai (dapara/salima) menurut bentuknya bisa rata dan tidak rata. Bahan yang digunakan adalah papan atau bamboo.
7. Dinding (renring/rinring) terbuat dari kulit kayu, daun rumbia, atau bambu.
8. Jendela (tellongeng) jumlahnya tiga untuk rakyat biasa, tujuh untuk bangsawan
9. Pintu (tange sumpang) diyakini jika salah meletakkan dapat tertimpa bencana, sehingga diletakkan dengan cara sebagai berikut:
Jika lebar rumah sembilan depa, maka pintu diposisikan pada depa ke-8; artinya lebar rumah selelu ganjil dan pintu diletakan pada angka genap.
Akulturasi
Akulturasi dipahami sebagai fenomena yang akan terjadi tatkala kelompok-kelompok individu yang memiliki budaya berbeda terlibat dalam kontrak yang berlangsung secara tangan pertama (langsung), disertai perubahan terus – menerus, sejalan pola-pola budaya asal dari kelompok itu atau dari kedua kelompok itu.
Menurut Koentjaraningrat (1996) akulturasi adalah istilah antropologi yang memiliki beberapa makna, yang kesemuanya itu mencakup konsep mengenai proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan sesuatu kebudayaan tertentu dihadapkan kepada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur asing tersebut lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu. Unsur kebudayaan tidak pernah didifusikan secara terpisah, melainkan senantiasa dalam suatu gabungan atau kompleks yang terpadu.
Akulturasi budaya dalam arsitektur tidak dapat dielakkan dan pasti terjadi. Bentuk dan fungsi adalah dialektika yang terus-menerus saling tarik menarik di tangah kondisi sosial- budaya masyarakatnya. Dan arsitektur bukan semata-mata desain tetapi juga elemen non desain yang dapat menggeser dan menggantikan sedemikian rupa setiap fakta budaya yang sedang berlangsung. Perubahan bentuk dan fungsi dalam arsitektur dapat terjadi melalui elemen budaya: teknologi, ekonomi, sosio ideologi dan aliran apapun yang berkeliaran dan mampu menguasai gagasan, cara pandang dan jiwa masyarakat dalam jamannya. Namun demikian pada akhirnya bentuk dan fungsi dalam arsitektur yang muncul adalah pengalaman rasa yang diminati dan diyakini manfaatnya oleh sekelompok masyarakatnya secara komunal. Setiap perubahan yang terjadi, bagaimana pun tidak akan pernah begitu saja merubah cara hidup, respon dan persentuhan manusia dengan lingkungannya ketika kekuatan-kekuatan psikis yang dimiliki masih melekat dengan rona budaya sebelumnya.
Arsitektur Tradisional Bugis di Kawasan Pesisir Kamal Muara
Kamal Muara adalah perkampungan nelayan yang terletak di sebelah Utara Jakarta atau berada di wilayah pesisir teluk Jakarta. Perkampungan ini merupakan salah satu jalur transportasi menuju kepulauan Seribu selain Ancol. Beragam etnis tinggal di perkampungan ini, antara lain Betawi, Bugis, Sunda, Jawa, Flores, Sumba, Sumbawa, dan Timor. Dua etnis yang dominan adalah Bugis dan Betawi.
Mata pencaharian penduduk di Kamal Muara sebagian besar adalah nelayan, yaitu: nelayan penangkap ikan dan peternak kerang hijau. Sebelum kedatangan orang Bugis, orang Betawi umumnya hanya menangkap ikan dengan menggunakan jala dan perangkap ikan di pantai. Orang Bugis memperkenalkan metode menangkap ikan dengan menggunakan perahu dan bagan. Bagan adalah semacam kerangka dari bambu yang dibuat menyerupai tenda pada bagian di atas permukaan laut. Pada bagian di bawah permukaan laut terdapat beberapa batang bambu yang dirangkai sepanjang kurang lebih 30 meter. Setiap sore setelah sholat Ashar, para nelayan bagan melaut untuk menangkap ikan dengan menggunakan petromaks.
Pekerjaan beternak kerang hijau bukanlah pekerjaan asli orang Bugis. Pada bagan yang diletakkan di lepas pantai, seringkali rangkaian bambu secara tidak sengaja ditempeli oleh kerang hijau yang ternyata banyak terdapat di teluk Jakarta. Dalam perkembangannya orang Bugis membuat semacam bagan khusus untuk ternak kerang hijau. Rangkaian bambu pada bagan tersebut dililit dengan tali tertentu agar kerang hijau dapat menempel dan hidup dengan mudah di lilitan tersebut. Bagan dan ternak kerang hijau, umumnya diletakkan di lepas pantai tidak jauh dari pulau-pulau di kepulauan Seribu.
Pola pemukiman orang Bugis berada di garis pantai dan beberapa di antaranya tinggal di rumah panggung di atas permukaan air laut. Sementara orang Betawi tinggal di “daratan” di sebelah Selatan perkampungan orang Bugis.
Yang menjadi pertanyaan penelitian adalah: apakah pola pemukiman orang Bugis tetap mempertahankan tradisi asal-usulnya? Apakah pola pemukiman mengalami perubahan sebagai respon terhadap lingkungan alam dan iklim baru?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar