Pola
Pengelolaan Sampah sampai saat ini masih menganut paradigma lama dimana
sampah masih dianggap sebagai sesuatu yang tak berguna, tak bernilai
ekonomis dan sangat menjijikkan. Masyarakat sebagai sumber sampah tak
pernah menyadari bahwa tanggung jawab pengelolaan sampah yang dihasilkan
menjadi tanggung jawab dirinya sendiri.
Apabila
sampah - sampah yang luar biasa ini mulai menjadi masalah bagi manusia,
barulah manusia menyadari ketidak perduliannya selama ini terhadap
sampah dan mulai menimbulkan kepanikan dan menghantui di mana - mana
tanpa tahu apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya.
Sampah
merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia, karena setiap
aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau
volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap
barang/material yang kita gunakan sehari-hari. Sehari setiap warga kota menghasilkan rata-rata 900 gram sampah, dengan komposisi, 70% sampah organik dan 30% sampah anorganik. Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah.
Sampah
yang dihasilkan oleh (manusia) pengguna barang, dengan kata lain adalah
sampah-sampah yang di buang ke tempat sampah walaupun masih jauh lebih
kecil dibandingkan sampah-sampah yang dihasilkan dari proses
pertambangan dan industri, tetapi merupakan sampah yang selalu menjadi
bahan pemikiran bagi manusia.
PENANGGULANGAN SAMPAH
Prinsip-prinsip
yang juga bisa diterapkan dalam keseharian dalam menanggulangi sampah
misalnya dengan menerapkan Prinsip 4R (WALHI, 2004) yaitu:
· Reduce
(Mengurangi); sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau material
yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material,
semakin banyak sampah yang dihasilkan.
· Reuse
(Memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa
dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali
pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang
sebelum ia menjadi sampah.
· Recycle
(Mendaur ulang); sebisa mungkin, barang-barang yg sudah tidak berguna
lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang,
namun saat ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah
tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain.
· Replace
( Mengganti); teliti barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah
barang barang yang hanya bisa dipakai sekali dengan barang yang lebih
tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang
lebih ramah lingkungan. Misalnya, ganti kantong keresek kita dengan
keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua
bahan ini tidak bisa didegradasi secara alami.
Daripada
mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan jumlah sampah yang
terus meningkat, minimisasi sampah harus dijadikan prioritas utama.
PENGOLAHAN SAMPAH
Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-70% dari total volume sampah. Selama
ini pengelolaan persampahan, terutama di perkotaan, tidak berjalan
dengan efisien dan efektif karena pengelolaan sampah bersifat terpusat,
di buang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur.
Seharusnya sebelum
sampah dibuang dilakukan pengelompokkan sampah berdasarkan jenis dan
wujudnya sehingga mudah untuk didaurulang dan/atau dimanfaatkan (sampah
basah, sampah kering yang dipilah-pilah lagi menjadi botol gelas dan
plastik, kaleng aluminium, dan kertas). Untuk tiap bahan disediakan bak
sampah tersendiri, ada bak sampah plastik, bak gelas, bak logam, dan bak
untuk kertas. Pemilahan sampah itu dimulai dari tingkat RT(Rumah
tangga), pasar dan aparteme. Bila kesulitan dalam memilih sampah
tersebut minimal sampah dipisahkan antara sampah basah (mudah membusuk)
dan sampah kering (plastik,kaleng dan lain-lain)
Pemerintah sendiri menyediakan mobil-mobil pengumpul sampah yang sudah terpilah sesuai dengan pengelompokkannya. Pemerintah
bertanggung jawab mengorganisasi pengumpulan sampah itu untuk
diserahkan ke pabrik pendaur ulang. Sisa sampahnya bisa diolah dengan
cara penumpukan (dibiarkan membusuk), pengkomposan (dibuat pupuk),
pembakaran. Dari ketiga cara pengelolaan sampah basah yang biasa
dilakukan dibutuhkan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang cukup luas.
Selain itu efek yang kurang baikpun sering terjadi seperti pencemaran
lingkungan, sumber bibit penyakit ataupun terjadinya longsor.
PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SAMPAH (PLTSa)
Selain dengan cara pengelolaan tersebut di atas ada cara lain yang akan dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung yaitu sampah dimanfaatkan menjadi sumber energi listrik (Waste to Energy) atau yang lebih dikenal dengan PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah).
Konsep Pengolahan Sampah menjadi Energi (Waste to Energy) atau PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga sampah) secara ringkas (TRIBUN, 2007) adalah sebagai berikut :
1. Pemilahan sampah
Sampah
dipilah untuk memanfaatkan sampah yang masih dapat di daur ulang. Sisa
sampah dimasukkan kedalam tungku Insinerator untuk dibakar.
2. Pembakaran sampah
Pembakaran
sampah menggunakan teknologi pembakaran yang memungkinkan berjalan
efektif dan aman bagi lingkungan. Suhu pembakaran dipertahankan dalam
derajat pembakaran yang tinggi (di atas 1300°C). Asap yang keluar dari
pembakaran juga dikendalikan untuk dapat sesuai dengan standar baku mutu
emisi gas buang.
3. Pemanfaatan panas
Hasil
pembakaran sampah akan menghasilkan panas yang dapat dimanfaatkan untuk
memanaskan boiler. Uap panas yang dihasilkan digunakan untuk memutar
turbin dan selanjutnya menggerakkan generator listrik.
4. Pemanfaatan abu sisa pembakaran
Sisa
dari proses pembakaran sampah adalah abu. Volume dan berat abu yang
dihasilkan diperkirakan hanya kurang 5% dari berat atau volume sampah
semula sebelum di bakar. Abu ini akan dimanfaatkan untuk menjadi bahan
baku batako atau bahan bangunan lainnya setelah diproses dan memiliki
kualitas sesuai dengan bahan bangunan.
Dikota-kota besar di Eropah, Amerika, Jepang, Belanda dll waste energy
sudah dilakukan sejak berpuluh tahun lalu, dan hasilnya diakui lebih
dapat menyelesaikan masalah sampah. Pencemaran dari PLTSa yang selama
ini dikhawatirkan oleh masyarakat sebenarnya sudah dapat diantisipasi
oleh negara yang telah menggunakan PLTSa terlebih dahulu. Pencemaran-
pencemaran tersebut seperti :
· Dioxin
Dioxin
adalah senyawa organik berbahaya yang merupakan hasil sampingan dari
sintesa kimia pada proses pembakaran zat organik yang bercampur dengan
bahan yang mengandung unsur halogen pada temperatur tinggi, misalnya
plastic pada sampah, dapat menghasilkan dioksin pada temperatur yang
relatif rendah seperti pembakaran di tempat pembuangan akhir sampah
(TPA) (Shocib, Rosita, 2005).
PLTSa
sudah dilengkapi dengan sistem pengolahan emisi dan efluen, sehingga
polutan yang dikeluarkan berada di bawah baku mutu yang berlaku di
Indonesia, dan tidak mencemari lingkungan.
· Residu
Hasil dari pembakaran sampah yang lainnya adalah berupa residu atau abu bawah (bottom ash) dan abu terbang (fly ash)
yang termasuk limbah B3, namun hasil-hasil studi dan pengujian untuk
pemanfaatan abu PLTSa sudah banyak dilakukan di negara-negara lain. Di
Singapura saat ini digunakan untuk membuat pulau, dan pada tahun 2029
Singapura akan memiliki sebuah pulau baru seluas 350 Ha (Pasek, Ari
Darmawan, 2007).
PLTSa akan memanfaatkan abu tersebut sebagai bahan baku batako atau bahan bangunan.
· Bau
Setiap
sampah yang belum mengalami proses akan mengeluarkan bau yang tidak
sedap baik saat pengangkutan maupun penumpukkan dan akan mengganggu
kenyamanan bagi masyarakat umum.
Untuk
menghindari bau yang berasal dari sampah akan dibuat jalan tersendiri
ke lokasi PLTSa melalui jalan Tol, di sekeliling bagunan PLTSa akan
ditanami pohon sehingga membentuk greenbelt (sabuk hijau) seluas 7 hektar.
Tujuan Didirikan nya PLTSa :
Tujuan dari sebuah PLTSa ialah untuk mengkonversi sampah menjadi energi. Pada dasarnya ada dua alternatif proses pengolahan sampah menjadi energi, yaitu proses biologis yang menghasilkan gas-bio dan proses thermal yang menghasilkan panas. PLTSa yang sedang diperdebatkan untuk dibangun di Bandung menggunakan proses thermal sebagai proses konversinya. Pada kedua proses tersebut, hasil proses dapat langsung dimanfaatkan untuk menggerakkan generator listrik. Perbedaan mendasar di antara keduanya ialah proses biologis menghasilkan gas-bio yang kemudian dibarak untuk menghasilkan tenaga yang akan menggerakkan motor yang dihubungkan dengan generator listrik sedangkan proses thermal menghasilkan panas yang dapat digunakan untuk membangkitkan steam yang kemudian digunakan untuk menggerakkan turbin uap yang dihubungkan dengan generator listrik.
Proses Konversi Thermal
Proses konversi thermal dapat dicapai melalui beberapa cara, yaitu insinerasi, pirolisa, dan gasifikasi. Insinerasi pada dasarnya ialah proses oksidasi bahan-bahan organik menjadi bahan anorganik. Prosesnya sendiri merupakan reaksi oksidasi cepat antara bahan organik dengan oksigen. Apabila berlangsung secara sempurna, kandungan bahan organik (H dan C) dalam sampah akan dikonversi menjadi gas karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O). Unsur-unsur penyusun sampah lainnya seperti belerang (S) dan nitrogen (N) akan dioksidasi menjadi oksida-oksida dalam fasa gas (SOx, NOx) yang terbawa di gas produk. Beberapa contoh insinerator ialah open burning, single chamber, open pit, multiple chamber, starved air unit, rotary kiln, dan fluidized bed incinerator.
Pirolisa merupakan proses konversi bahan organik padat melalui pemanasan tanpa kehadiran oksigen. Dengan adanya proses pemanasan dengan temperatur tinggi, molekul-molekul organik yang berukuran besar akan terurai menjadi molekul organik yang kecil dan lebih sederhana. Hasil pirolisa dapat berupa tar, larutan asam asetat, methanol, padatan char, dan produk gas.
Gasifikasi merupakan proses konversi termokimia padatan organik menjadi gas. Gasifikasi melibatkan proses perengkahan dan pembakaran tidak sempurna pada temperatur yang relatif tinggi (sekitar 900-1100 C). Seperti halnya pirolisa, proses gasifikasi menghasilkan gas yang dapat dibakar dengan nilai kalor sekitar 4000 kJ/Nm3.
Pembangkit listrik tenaga sampah yang banyak digunakan saat ini menggunakan proses insenerasi. Sampah dibongkar dari truk pengakut sampah dan diumpankan ke inserator. Didalam inserator sampah dibakar. Panas yang dihasilkan dari hasil pembakaran digunakan untuk merubah air menjadi uap bertekanan tinggi. Uap dari boiler langsung ke turbin. Sisa pembakaran seperti debu diproses lebih lanjut agar tidak mencemari lingkungan (truk mengangkut sisa proses pembakaran). Teknologi pengolahan sampah ini memang lebih menguntungkan dari pembangkit listrik lainnya. Sebagai ilustrasi : 100.000 ton sampah sebanding dengan 10.000 ton batu bara. Selain mengatasi masalah polusi bisa juga untuk menghasilkan energi berbahan bahan bakar gratis juga bisa menghemat devisa.
Proses Konversi Biologis
Proses konversi biologis dapat dicapai dengan cara digestion secara anaerobik (biogas) atau tanah urug (landfill). Biogas adalah teknologi konversi biomassa (sampah) menjadi gas dengan bantuan mikroba anaerob. Proses biogas menghasilkan gas yang kaya akan methane dan slurry. Gas methane dapat digunakan untuk berbagai sistem pembangkitan energi sedangkan slurry dapat digunakan sebagai kompos. Produk dari digester tersebut berupa gas methane yang dapat dibakar dengan nilai kalor sekitar 6500 kJ/Nm3.
Tujuan Didirikan nya PLTSa :
Tujuan dari sebuah PLTSa ialah untuk mengkonversi sampah menjadi energi. Pada dasarnya ada dua alternatif proses pengolahan sampah menjadi energi, yaitu proses biologis yang menghasilkan gas-bio dan proses thermal yang menghasilkan panas. PLTSa yang sedang diperdebatkan untuk dibangun di Bandung menggunakan proses thermal sebagai proses konversinya. Pada kedua proses tersebut, hasil proses dapat langsung dimanfaatkan untuk menggerakkan generator listrik. Perbedaan mendasar di antara keduanya ialah proses biologis menghasilkan gas-bio yang kemudian dibarak untuk menghasilkan tenaga yang akan menggerakkan motor yang dihubungkan dengan generator listrik sedangkan proses thermal menghasilkan panas yang dapat digunakan untuk membangkitkan steam yang kemudian digunakan untuk menggerakkan turbin uap yang dihubungkan dengan generator listrik.
Proses Konversi Thermal
Proses konversi thermal dapat dicapai melalui beberapa cara, yaitu insinerasi, pirolisa, dan gasifikasi. Insinerasi pada dasarnya ialah proses oksidasi bahan-bahan organik menjadi bahan anorganik. Prosesnya sendiri merupakan reaksi oksidasi cepat antara bahan organik dengan oksigen. Apabila berlangsung secara sempurna, kandungan bahan organik (H dan C) dalam sampah akan dikonversi menjadi gas karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O). Unsur-unsur penyusun sampah lainnya seperti belerang (S) dan nitrogen (N) akan dioksidasi menjadi oksida-oksida dalam fasa gas (SOx, NOx) yang terbawa di gas produk. Beberapa contoh insinerator ialah open burning, single chamber, open pit, multiple chamber, starved air unit, rotary kiln, dan fluidized bed incinerator.
Pirolisa merupakan proses konversi bahan organik padat melalui pemanasan tanpa kehadiran oksigen. Dengan adanya proses pemanasan dengan temperatur tinggi, molekul-molekul organik yang berukuran besar akan terurai menjadi molekul organik yang kecil dan lebih sederhana. Hasil pirolisa dapat berupa tar, larutan asam asetat, methanol, padatan char, dan produk gas.
Gasifikasi merupakan proses konversi termokimia padatan organik menjadi gas. Gasifikasi melibatkan proses perengkahan dan pembakaran tidak sempurna pada temperatur yang relatif tinggi (sekitar 900-1100 C). Seperti halnya pirolisa, proses gasifikasi menghasilkan gas yang dapat dibakar dengan nilai kalor sekitar 4000 kJ/Nm3.
Pembangkit listrik tenaga sampah yang banyak digunakan saat ini menggunakan proses insenerasi. Sampah dibongkar dari truk pengakut sampah dan diumpankan ke inserator. Didalam inserator sampah dibakar. Panas yang dihasilkan dari hasil pembakaran digunakan untuk merubah air menjadi uap bertekanan tinggi. Uap dari boiler langsung ke turbin. Sisa pembakaran seperti debu diproses lebih lanjut agar tidak mencemari lingkungan (truk mengangkut sisa proses pembakaran). Teknologi pengolahan sampah ini memang lebih menguntungkan dari pembangkit listrik lainnya. Sebagai ilustrasi : 100.000 ton sampah sebanding dengan 10.000 ton batu bara. Selain mengatasi masalah polusi bisa juga untuk menghasilkan energi berbahan bahan bakar gratis juga bisa menghemat devisa.
Proses Konversi Biologis
Proses konversi biologis dapat dicapai dengan cara digestion secara anaerobik (biogas) atau tanah urug (landfill). Biogas adalah teknologi konversi biomassa (sampah) menjadi gas dengan bantuan mikroba anaerob. Proses biogas menghasilkan gas yang kaya akan methane dan slurry. Gas methane dapat digunakan untuk berbagai sistem pembangkitan energi sedangkan slurry dapat digunakan sebagai kompos. Produk dari digester tersebut berupa gas methane yang dapat dibakar dengan nilai kalor sekitar 6500 kJ/Nm3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar