Bangunan rumah sakit, yang menjadi tempat tujuanku, berdiri megah di hadapanku. Setengah mati aku memantapkan hati untuk masuk, dan melangkah menuju lift. “Tenang, Tari… tenang. Nggak akan terjadi apa-apa koq,” bisikku, saat pintu lift terbuka di lantai 5. Perlahan-lahan, aku mencari kamar 517, membuka pintunya dan melangkah masuk.
Suasana di dalam kamar itu benar-benar sepi. Hanya ada suara napas teratur dari orang yang berbaring di atas tempat tidur di tengah ruangan itu. Sepertinya ia sedang tidur siang. Aku berjalan mendekat, sampai ke ujung tempat tidur. Aku amati wajah laki-laki yang berbaring di atas tempat tidur itu. “Kita bertemu lagi, Papa !!” aku mengucapkan salam dengan pelan.
Laki-laki itu memang Papaku, yang sudah bertahun-tahun tidak pernah aku jumpai. Sejak aku masih kelas 5 SD, Papa sudah tidak tinggal lagi di rumah kami. Yang ada cuma Mama, aku, dan Tommy, adikku. Papa pergi meninggalkan kami semua sejak bercerai dengan Mama karena ketahuan mempunyai wanita lain.
Awalnya aku sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Yang aku tahu, waktu itu orangtuaku bertengkar hebat, dan keesokan harinya, Papa sudah tidak ada lagi di rumah. Setiap hari mama kerja sampai malam, sehingga otomatis aku harus berdua saja dengan Tommy di rumah. Kadang-kadang Papa datang, tapi kemudian semakin jarang, sampai akhirnya ia tidak pernah datang lagi.
Lama-lama, aku mulai menyadari apa yang sudah terjadi. Ternyata orangtuaku sudah bercerai. Saat itu aku menanyakan kepada mama kenapa mereka berpisah, Mama Cuma bisa tersenyum sedih. Katanya, ”Mungkin semua itu memang yang terbaik buat kita semua.”
Rasa marahku pada Papa pun muncul. Aku benar-benar ngga terima, kenapa Papa bisa tega-teganya meninggalkan keluarganya demi orang lain. Benar-benar nggak adil !! Karena kepergiannya, Mama harus bekerja keras buat menghidupi anak-anaknya. Bahkan mama terpaksa menjual rumah tempat tinggal kami selama ini, dan pindah ke rumah yang lebih kecil, supaya uangnya bisa dipakai untuk biaya sekolah aku dan Tommy.
Dan karena mama nggak punya biaya untuk menyewa pembantu, aku pun harus membantu mama mengurus rumah dan adikku. Mulai dari membersihkan rumah , membantu Tommy mengerjakan PR, dan kadang-kadang ikut memasak. Jarang banget aku bisa jalan-jalan atau bermain seperti teman-teman lain. Tapi semua aku kerjakan dengan tulus. Karena kalau bukan aku, siapa yang bakal mengerjakannya ??
Yang paling bikin aku nggak mengerti, Mama menerima semuanya dengan tabah. Beliau nggak pernah menjelek-jelekkan Papa di depanku. Bahkan Mama selalu mengingatkan supaya aku nggak dendam sama Papa. “Bagaimana pun juga dia kan papa kamu.” Tapi buatku, sosok papa itu sudah lama mati …
Bertahun-tahun aku nggak pernah mendengar kabar tentang Papa sampai tadi pagi, Mama menelpon ke HP Riri, teman sebangku aku. Katanya, Mama baru saja ketemu adiknya Papa di dekat kantornya. Menurutnya, Papa yang selama ini tinggal di Medan bersama keluarga barunya, sudah kembali ke Jakarta dua bulan lalu. “Papa kangen banget sama kamu dan Tommy. Ia sudah berusaha mencari di mana kita sekarang, tapi nggak ketemu-ketemu.”
Mama juga menyampaikan kalau beberapa hari yang lalu papa masuk rumah sakit karena terkena serangan jantung ringan. Tapi aku sama sekali nggak tersentuh mendengar kabar buruk itu. Ughh… Ngapain sich Mama ngurusin Papa? Tapi sekali lagi Mama berusaha meredam semua kemarahanku. “Ingat, dia kan masih Papa kamu. Sudah sana nanti pulang latihan basket kamu jenguk Papa.”
Aku bingung setengah mati. Dalam hati, aku menolak mentah-mentah suruhan Mama. Tapi aku takut Mama akan marah kalau aku nggak menuruti keinginannya. Jadi, dengan membulatkan tekad, aku pun berangkat kerumah sakit yang disebutkan Mama…
“Hastari…?” tiba-tiba ada suara lemah menyebut namaku. Aku tersentak dari lamunan. Ternyata Papa sudah bangun dari tidurnya. Aku nggak menyangka dia masih mengenali aku, walaupun kami sudah lama berpisah. Selama beberapa saat, aku Cuma terdiam dan hanya membalas menatap Papa, yang memperhatikanku dengan ekspresi sangat terkejut.
Tiba-tiba saja aku membalikkan badan, dan dengan cepat aku melangkah menuju pintu. Saat menutup pintu, aku masih bisa mendengar Papa kembali memanggil namaku. Tapi aku nggak berniat kembali ke dalam kamar itu aku berlari menuju lift, dan di dalamnya aku menangis. Maaf Papa, untuk sekarang, hanya ini yang bisa aku lakukan. Aku belum bisa melupakan yang sudah terjadi selama ini dengan begitu saja. Mungkin, suatu hari nanti, hubungan kita bisa lebih baik lagi, dan kembali menjadi Papa dan putrinya …
cerita pendek karya Agus Noor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar